Nitiprana dan Nitisruti, Kamajaya, 1979, #1066
Pencarian Teks
Lingkup pencarian: teks dan catatan-kakinya. Teks pencarian: 2-24 karakter. Filter pencarian: huruf besar/kecil, diakritik serta pungtuasi diabaikan; karakter [?] dapat digunakan sebagai pengganti zero atau satu huruf sembarang; simbol wildcard [*] dapat digunakan sebagai pengganti zero atau sejumlah karakter termasuk spasi; mengakomodasi variasi ejaan, antara lain [dj : j, tj : c, j : y, oe : u, d : dh, t : th].
Milik Departemen. P dan K. Tidak diperdagangkan. Untuk umum.
Serat Nitiprana
Radèn Ngabèhi Yasadipura
Kamajaya
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
--- 1 ---
PPS/Jw/29/78. Milik Dep. P dan K. Tidak diperdagangkan.
Serat Nitiprana
Karangan
Radèn Ngabèhi Yasadipura
Alih Aksara
Kamajaya
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
Jakarta 1979
--- 2 ---
Diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Hak pengarang dilindungi undang-undang.
--- 3 ---
Kata Pengantar
Bahagialah kita, bangsa Indonesia bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama, yang pada hakikatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu di segala bidang.
Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.
Pemeliharaan, pembinaan, dan penggalian sastra daerah jelas akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan Nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya.
Saling pengertian antar daerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antar suku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah yang termuat dalam karya-karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah itu. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia.
Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas, kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Jawa yang
--- 4 ---
berasal dari Boekhandel Tan Khoen Swie, Kediri, dengan harapan semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap dalam usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.
Jakarta, 1979
Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
--- 5 ---
DAFTAR ISI
Sêrat Nitiprana
Nitiprana, Petikan dari Kitab Sifat Ul-ulaka ... 7
Sêrat Nitiprana, Pêthikan saking Kitab Sipatul Ngulaka ... 19
Dhandhanggula ... 19
Sêrat Nitisruti
Nitisruti ... 35
Sêrat Nitisruti ... 81
1. Dhandhanggula ... 83
2. Sinom ... 92
3. Asmaradana ... 100
4. Mijil ... 108
5. Durma ... 112
6. Pucung ... 117
7. Kinanthi ... 122
8. Mêgatruh ... 126
--- 7 ---
Nitiprana, petikan dari Kitab Sifat-Ul-Ulaka
1. Uraian dalam buku ini kata-katanya digubah dalam bentuk syair. Merupakan campuran sastra Arab dan Jawa; dua-duanya tidak boleh berlawanan. Jalannya harus sejajar, dan tidak dapat disingkatkan. Bila salah satu terpisah, tentu akan gagal dan menghilangkan kekuatan Negara.
2. Negara itu kuat dan kekuatannya bukan kepalang. Kekuatannya ialah karena menjaga dan wajib menjaga semua hukum beserta peraturannya. Hukum itu kuat dan tegak, menegakkan segala perkara dan masalah. Karena itu kita harus taat kepada hukum, dan menerapkannya dalam Negara. Bila kedua-duanya itu bertemu dengan baik, maka segala sesuatunya akan menjadi baik, selamat dan bahagia.
3. Itulah maksud penulis ini; berdaya upaya sekuatnya dengan kemampuan keras dalam hatinya, mengikuti ajaran para pemimpin agung. Ingin mengungkapkan gagasan-gagasan orang besar; orang yang besar dalam perbuatan dan melatih diri. Namun diri penulis sendiri masih canggung, belum mahir dalam pengetahuan dan dalam ajaran. Dengan demikian ada kemungkinan akan melanggarnya; dan kalau melanggar tak urung akan terjadi kerusuhan dan mengakibatkan kerusakan.
4. Maksudnya memang segan-segan untuk merusak atau menyakiti hati orang lain, dan karena itu janganlah bimbang ragu. Ambillah keputusan dalam diri sendiri untuk selalu berbuat baik, berusaha menjangkau budi luhur, bertindak melalui jalan yang benar, ialah jalan yang mengarah ke keluhuran budi. Kata hati selalu sabar, artinya agar lekas dapat mencapai hati yang suci, supaya dapat dipancarkan dan diamalkan kepada orang lain.
5. Pemancaran dan pengamalan hati yang suci itu meliputi serta mengayomi diri sendiri juga yang akan ikut mengalami dan memperoleh kebaikannya, dapat mencegah dan meniadakan malapetaka. Dan akhirnya yang didapat ialah kegembiraan [kegembi...]
--- 8 ---
[...raan] serta kebahagiaan; juga keagungan dan keluhuran. Bila itu telah dicapai, niscaya akan disebut orang yang agung, sentosa dalam kemauannya, dan dianggap orang yang berbudi luhur, dan telah mencapai kebahagiaan dalam hati.
6. Kebahagiaan dalam hati itu dapat mengekang segala nafsu yang jahat; dapat mendekatkan segala sesuatu yang benar dan baik; dapat menghindari bujukan setan, bujukan yang mendorong hati untuk berbuat yang tidak baik. Karena itu sebaiknya mohonlah selalu kepada Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa. Yang Maha Agung akan mengabulkan permohonan hambanya, asal ia tetap tekun dan teguh dalam usahanya.
7. Di dalam Kitab Sifat-ul-Ulaka, tanda orang yang masih kurang budinya itu dapat dilihat pada badannya, pada solah tingkah, dan pada kata-katanya. Adapun yang telah memiliki budi yang sejati, walaupun dirinya mendapat perlakuan tidak baik, hal itu dibalas dengan kebaikan. Hatinya selalu terbuka bagi sesama manusia; orang yang salah dimaafkan.
8. Itulah pertama tanda keluhuran budi. Tanda yang kedua ialah selalu mantap dan tahu menghargai orang yang berbuat baik kepadanya, serta dapat menempatkan diri sendiri. Terhadap orang yang luhur dapat merendahkan diri, lagi pula tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia. Adapun tanda yang ketiga ialah senang akan perbuatan yang baik, dan menyingkiri perbuatan yang jelek.
9. Tanda budi luhur yang keempat ialah dapat menerima dan mempertimbangkan kata-kata orang lain. Yang kelima ialah segala sesuatu yang diucapkan selalu didasari pertimbangan dan pengetahuan. Adapun yang keenam yaitu gemar berpikir, selalu berdo'a, sadar serta éling akan hidupnya bahwa bagaimanapun orang akhirnya akan meninggal. Dan yang ketujuh ialah, jika mengalami prihatin, terimalah itu sebagai anugerah dari Tuhan.
10. Maka hilanglah kaprihatinan itu dan yang dirasa hanya terima
--- 9 ---
kasih, dan rasa menyerah-merendah terhadap Yang Agung. Lengkaplah ketujuh tanda budi sejati. Adapun budi yang jelek terkena godaan iblis juga meliputi tujuh hal. Yang pertama ialah suka menganiaya, menyakiti hati orang lain; kata-katanya jauh dari dipertimbangkan dan tidak didasari nalar; ucapannya sembarangan sangat menyakiti hati.
11. Yang kedua bersifat tinggi diri, congkak, tidak mau bergaul jika ia merasa rendah. Adapun yang ketiga sifatnya tidak mempunyai dan tidak mengindahkan tata-krama, norma-norma pergaulan. Yang keempat tandanya orang itu lekas marah dan keras terhadap orang lain. Yang kelima ialah sifat jahil dan lekas mengadu. Yang keenam selalu bersembunyi dari perbuatan yang baik, artinya menjauhi atau menghindari perbuatan baik. Adapun yang ketujuh sifatnya tidak sabar mengalami musibah.
12. Telah lengkap ketujuh hal tersebut, kesemuanya merupakan bahaya besar bagi manusia. Maka itu, mampulah merasakan dan menghayati kata-kata mutiara dari jaman dulu, dari leluhur kita. Bila dapat menerapkan dan melaksanakan nasehat-nasehat tersebut di atas, maka akan menjadi dekat kepada Yang Maha Suci dan merasa selalu mendapat anugerah daripadaNya.
13. Yang utama dalam kelakuan kita ialah, lakukanlah sembarang pekerjaan asal teguh kukuh dalam kebaikan dan dapat meninggalkan segala kesalahan. Yang benar dipegang teguh, jangan sampai ragu, supaya tetap kuat dan kukuh, dan mampulah meninggalkan yang jelek. Yang dimaksud dengan yang jelek ialah yang menyimpang dari kebaikan; dan kebaikan berarti kebahagiaan.
14. Kebahagiaan dan kesejahteraan agar tidak beralih, maka singkirkanlah rasa hati yang tersesat sejauh-jauhnya. Bila rasa hati dan pendapat orang yang berilmu, - dan ini banyak yang menerapkan pada diri sendiri -, itu adalah ilmu yang menyimpang, dan jika itu tetap ada pada diri kita, niscaya kacau
--- 10 ---
15. Maka itu hati-hatilah dan waspadalah dalam melakukan ilmu beserta dalil-dalilnya. Dan pula Hadis dari Rasululah, cermatlah cara dalam menghayatinya agar sesuai dengan yang dimaksud oleh Utusan Tuhan. Dan apa saja yang dikabarkan oleh para Rasul, itu adalah kabar yang benar, dan sungguh dari Yang Maha Agung.
16. Orang yang telah terbuka dan telah memiliki ilmu, tidak lagi dikuasai oleh keinginan. Hidupnya hanya menghadap; menjaga segala yang baik, berlaku sabar dalam menghadap kepada Tuhan. Tidak ingin mendahului kemauan Yang Maha Agung, tidak mempunyai rasa ingin lagi; yang ada hanya kerelaan serta penyerahan kepada Yang Maha Suci. Itulah tekadnya yang nyata.
17. Walaupun telah menjadi apa saja, kemuliaannya ataupun kebahagiaannya masih belum tentu; masih harus pasrah menyerah kepada Yang Maha Kuasa. Dan jika belum demikian, entahlah bagaimana rasa hatinya bila terbuka. Dan kalau ingin menjangkau dan hatinya terbuka, sungguh masih bingung seperti orang linglung, dan diam tak tahu apa yang harus dilakukan.
18. Bingung linglung dan diam tak tahu apa yang harus dilakukan itu karena tekad yang kurang mantab, dan hal demikian janganlah dianggap sepele dan gampang. Tetapi bila mau melakukan perbuatan-perbuatan yang baik secara teguh, mungkin hati terbuka terhadap ilmu dan pengetahuan; itu pun masih barangkali. Namun bagaimanapun tempuhlah jalan itu, menurut petunjuk dari yang Agung.
19. Yang mantaplah dalam berbakti kepada Tuhan, dan puasalah seperlunya; sering-seringlah duduk tepekur dengan mengurangi tidur, disertai memanjatkan doa secara khusuk. Di samping itu hindarilah sejauh-jauhnya ketiga maksiat yang menjadi penggoda hati sanubari. Menghindari dan membuang jauh-jauh penggoda itu tidaklah mudah, tetapi harus selalu diusahakan.
--- 11 ---
20. Penggoda-penggoda itulah yang menghalangi dan mengalingi kesempurnaan dan kebahagiaan, demikian kata Kitab Sifatul-Ulaka, dan itu merupakan dosa yang besar. Lagipula janganlah mau menerima suap-pungli dari siapapun atau menjadi lintah darat. Sebab riba semacam itu akan membuat segala-galanya menjadi kabur dan rincu; bahkan menyulitkan saat-saat terakhir kita akan meninggalkan dunia fana ini. Di dalam kematian, riba membuat jalan menjadi gelap. Makanya perhatikanlah semua itu.
21. Di dalam kematian, riba-menerima suap-pungli dan menjadi lintah darat akan menghalang-halangi melapangkan hati menjadi terang, menimbulkan rasa bingung, segalanya serba sulit-rumit, hati menjadi resah-rincu; akhirnya hanya dapat berlari-lari tanpa tujuan, tanpa pegangan, tanpa penguat diri, tidak ada yang memberi pertolongan. Karena itu hati-hati serta waspadalah, agar pada saat kematian nanti segala sesuatunya berjalan tepat dan semestinya, hati tetap mantap.
22. Tatalah jalan hati sanubari, dan jalankanlah menurut peraturan yang nyata, agar kata hati menjadi tepat dan terang. Dan kalau kata hati itu sudah tetap tepat dan terang, tatalah yang benar-benar teratur. Dan dalam pada itu terangkanlah penglihatanmu terhadap Yang Maha Mulia. Tiadakanlah keinginan hati, hilangkanlah yang menghalangi dan mengalingi; lepaskanlah segalanya dan yang ada tinggal nyawa (roh).
23. Nasehat serta uraian tentang kematian itu tidak boleh dianggap gampang, sebab syaratnya cukup berat. Syaratnya hanya ilmu dan pengetahuan yang harus diusahakan siang malam. Selain itu harus pula dijauhkan segala kejahatan, hawa nafsu aluamah dibuang jauh-jauh, kecongkakan serta keserakahan dihalau, dan kata hati nurani mutmainah tetap dimantapi. Pendeknya, ketiga hawa nafsu harus dilawan.
24. Bagaimana dapat menjadi manusia yang agung, kalau masih saja tetap mengumbar hawa nafsu tadi; masih tetap berasa dendam, bersifat khianat, lekas marah, suka jahil, tak dapat
--- 12 ---
mengendalikan hawa nafsu; aluamahnya dihidup-hidupkan, amarahnya ditimang-timang, supiahnya dimanja. Jika masih tetap demikian, kejahatannya akan makin menjadi, naik membubung ke atas menjadi penunjuk jalan yang tidak baik, dan segala kebaikan telah disembunyikan.
25. Tersembunyikan oleh hawa nafsu yang membuat lupa akan segala yang baik. Maka cobalah melawan nafsu jelek itu, musuhilah nafsu itu sekuat-kuatnya. Percayalah bahwa nafsu jelek itu akan hilang, akan buyar porak poranda. Yang digunakan sebagai senjata pedang ilalah mempelajari dan menuntut ilmu, sebagai panah dipakai budi baik, dipayungi oleh sifat tawakal dalam maju ke medan laga. Maka dengan demikian lenyaplah segala yang jelek.
26. Masih ada lagi senjata-senjata yang ampuh, tetapi janganlah suka memiliki yang tidak sah menurut hukum. Yaitu warisan dari orang kikir dengan mengurangi pendapatan atau rezeki; keturunan dari orang yang suka memfitnah. Mereka ini akan menemui celaka yang sangat dan sengsara terus-menerus. Lain halnya dengan orang yang sabar dan tawakal wataknya; mereka akan menemui kejayaan dan kebahagiaan.
27. Selamat dan bahagia itu memancarkan kebaikan; dan yang baik akan membawa menfaat, mendatangkan anugerah yang besar. Anugerah itu wahyu, wahyu petunjuk dari Yang Maha Agung. Inilah yang pantas dibesarkan dan diutamakan, sebab merupakan anugerah Tuhan yang telah diberikan, yaitu yang bersifat asih atau rahman.
28. Asih atau rahman itu memancarkan éling, dan éling selanjutnya memancarkan makrifat. Makrifat adalah asih dari Tuhan Yang Maha Agung; dan Agung artinya tak ada yang menyamai. Dan tak mungkin ada yang dapat menyamai Tuhan Yang Maha Agung, yang mempunyai sifat keelokan serta keindahan, sebab Ialah Yang Maha Kuasa tak ada yang membandinginya; Dialah Pencipta Jagad Raya.
--- 13 ---
29. Dan perlu pula diketahui soal sifat dua puluh; makna dan artinya harus difahami. Dan semua orang Islam wajib mengerti hal itu. Jika tidak mengetahui arti dan maknanya, pasti akan lebur tumpur. Sifat, Wujud, Kidam, Baka, Mukhalafah-lil-Kawadisi, itulah lima yang pertama.
30. Selanjudnya; Kiyamu, Wahdaniyat, Kodrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Samak, Basar. Kalam, Khodiran, dan Muridan, pula Aliman, Basiran, dan Mutakalim, lemgkpalah hitungannya yang bersifat dua puluh. Sebetulnya semua wujud itu yang pasti tidak ada.
31. Wujud itu hanyalah Yang Maha Suci, tidak ada yang lain dari awal sampai akhir. Arti dan makna perkataan-perkataan di atas tadi ialah, semuanya itu bila sudah rusak, yang ada hanya Zat Yang Mulia, adanya Yang Maha Agung. Agung berarti luas, dan luas artinya tidak ada yang menyamai. Dia bukan pria dan bukan wanita.
32. Semua makhluk berlindung kepada Yang Maha Esa; semua jagad yang berarahkan enam hal, itu semuanya dibawah pengayomanNya. Ada yang mengatakan, Ia adalah Johar da Jisim (Bintang dan Tubuh); ada pula yang mengatakan bahwa Ia itu hanya angan-angan belaka. Namun semuanya itu salah, tak berdasar ilmu, tak berdasar nalar, tak berdasar ajaran. Sebab yang menciptakan bumi dan langit dengan segala-galanya itu, tidak dapat diduga.
33. Tidak dapat digambarkan, walaupun dalam hati. Bila ada rupa atau wujud, bagaimana rupa dan ujud itu? Dan bila ada, maka bukankah itu lalu menjadi seperti semua makhluk? Jadi semuanya yang suci, yang terasa dalam hati sanubari, semuanya lalu berupa buatan dan bukan Yang Maha Luhur! Sebab Yang Maha Luhur itu tidak mungkin digambarkan atau dijangkau dalam hati. Karena itu sebaiknya kita semua selalu menghadap kepada Tuhan, supaya memperoleh anugerah daripadaNya.
34. Jika mendapat takdir Yang Maha Kuasa, janganlah melawan takdir itu. Namun apabila ingin memiliki ilmu dan pengetahuan [pengeta...]
--- 14 ---
[...huan] yang sejati, janganlah bertindak gegabah sembarangan. Tempuhlah jalan yang benar, jalanilah menurut Kitab Suci. Itulah jalan yang harus ditempuh agar selalu éling dan waspada.
35. Perhatikanlah segala sesuatu yang menjadi larangan; jalankanlah yang ada dalam petunjuk. Sekali-kali janganlah melakukan sesuatu yang harus dicegah; ini harus dihindari jauh-jauh. Dan itulah jalan utama yang menjadi senjata orang yang agung dan luhur, dan jelas tidak akan dimurkai Tuhan. Dan terapkanlah segala itu dengan jelas dan teliti sekarang juga. Dan bila telah demikian, itulah yang disebut orang ahli kejiwaan, seorang ahli rohaniah.
36. Manusia ini tahunya akan wujud Yang Maha Mulia, hanya dari dalilnya. Dalil itu ialah: Walahu fan khalahu wasamat; artinya Allah yang menjadikan langit dan bumi beserta segala-galanya; dan benarnya kewajiban perwujudan ini tidak mengenal waktu dan tempat.
37. Dan siapa orangnya yang mengatakan ada akhir jaman terhadap Allah, itu berarti bahwa ia telah berdosa dan berkhianat terhadap Allah. Orang semacam itu menjadi orang kafir, bukan seorang Islam lagi. Ia seorang kafir yang menjadi murtad, menyalahi hukum; dan siapa yang telah mengingkari Tuhan, niscaya ia akhirnya menjadi tersesat.
38. Sifat Kidham dihin Yang Maha Suci, tidak mungkin kalau didahului Adam. Lafalnya ialah: Wal awalu, yang awal, yang pertama tetapi juga: Wal akhiru, artinya: yang akhir, tidak ada yang lebih akhir. Itulah lafal Sifat Baka, sifat langgeng Yang Maha Agung. Manapkhuhum alahéa, semua benda masing-masing akhirnya akan hilang.
39. Wa yap kalam, artinya, Yang Maha Suci itu tetap. Wajahu rabika ialah Zat Tuhan, Zuljalali wal ikhram berarti kemuliaan Yang Maha Agung. Mukallapah lil kawadisi, berbeda dengan yang baru; inilah dalil-dalilnya: Wallahu atau Allah; seperti: Manta Esa dan Khamislihi, yang artinya tak ada
--- 15 ---
umpamanya.
40. Walkiamu dan Binapsihi: ada dari sendirinya, tidak ada yang menyebabkan. Innalaha, alil alamin: benar-benar kaya Tuhan itu, tak mungkin Dia miskin. Dan sifat Wahdaniat artinya: Tuhan itu hanya satu, tiada duanya, dan tak mungkin ada yang lain.
41. Sifat Kodrat kuasa yang Maha Esa, berarti tidak mungkin uhan dapat kalah. Inilah yang menunjukkan Innalaha tadi. Sebenarnya Yang Maha Suci selalu menciptakan yang baik, maksudnya supaya segalanya berjalan baik. Dan setiap benda masing-masing sudah dipastikan lengkap tak boleh kurang.
42. Sifat Iradat, artinya Tuhan sesungguhnya telah menciptakan segala sesuatu menurut kehendakNya. Adapun sifat Ilmu Tuhan itu lafalnya ialah: Allahu innalaha alakuli saein kulim, yang berarti sebagai berikut.
43. Sesunggguhnya Tuhan telah mengetahui semuanya yang ada. Selanjutnya sifat Hayat itu begini: ya tawakallu alal khayila ya muntuhi, yang berarti: Tuhan itu ada dan hidup dengan tak akan mati. Adapun dalil sifat Samak yaitu: Innalaha wa samiulalim, dapat mendengar dan melihat.
44. Dalil sifat Basar berbunyi: ya wallahu Allah bimatakmalu basire, semuanya yang dilihat, tidak dilakukan dengan kedua mata. Sifat Kalam, dan inilah yang terakhir-berdalil: Akhalamallahu Musa yang artinya: Tuhan telah berkata kepada Nabi Musa.
45. Kata-kata Yang Maha Suci kepada Nabi Musa agak sulit untuk dituturkan dan tidak banyak yang dapat menjangkaunya. Kedengarannya masih agak samar-samar, samar bagi seluruh dunia, dunia kecil maupun dunia besar. Sungguh besar wewenang yang menciptakan jagad raya. Maka itu jagalah keteguhan hati dengan tak gentar dan kuatkanlah pula tubuh badan.
46. Kalau dirinya telah menjadi kuat tubuh badannya, penjajagan
--- 16 ---
dan latihan jiwa harus lebih ditekuni. Maka jiwa akan kelihatan sendiri dengan jelas, ditambah dengan memperoleh pengetahuan yang tinggi. Dan bila telah tidak bersifat kafir, kata-katanya tidak sembarangan, pengetahuannya telah memahami hal-hal yang utama, cucilah badan siang malam, dan mohonlah pengampunan
47. Sadarilah terhadap Tuhan bahwa telah banyak kesalahan yang dilakukan dan masih kurang dalam ibadat kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan kesemua kesalahan itu adalah kekurangan dari diri sendiri. Dengan demikian dapatlah mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Agung. Jangan seperti yang menulis buku ini, yang berani-beraninya bersifat lancang menganggap dirinya seperti pujangga saja.
48. Sebenarnya penulis ini bodohnya bukan kepalang; mengarangnya tak terkira-kira dan makin kurang tempat bergantungnya, tempat pegangannya. Ditambah pula pengetahuannya masih sedikit, Bahasa Kawi pun belum memahami. Dan karena malas dan agak sembrono sembarangan lalu menjadi berani-beranilah melakukan hal yang rumit dan sulit, tidak menyadari dan memperhitungkan bahwa tentu mendapat senyum-sindir dari mereka yang pandai dan cerdik-cendikiawan.
--- 17 ---
Serat Nitiprana
--- 18 ---
[...]
--- 19 ---
Lihat teks di: Sêrat Nitiprana
--- 33 ---
Serat Nitisruti
Karangan
Pangeran Karanggayam
Alih aksara
Kamajaya
--- 34 ---
[...]
--- 35 ---
Nitisruti
Buku Nitisruti ini karangan Pangéran Karanggayam, seorang pujangga pada jaman Pajang, yang termasuk Walinuba, artinya wali anakan. Buku ini berisi berbagai ajaran, juga berisi pengetahuan lahir dan batin yang berlaku pada waktu itu, tetapi menurut pendapat saya masih banyak sekali yang dapat dibuat teladan pada zaman sekarang, meskipun tidak dapat memenuhi semua tujuan zaman kini. Maksudnya hanya mencari ancar-ancar bahwa ini adalah pengetahuan orang Jawa, bahasa Jawa, perasaan orang Jawa asli yang masih lugu, masih polos, belum tercampur dengan pengetahuan lain, pengetahuan dari luar Negeri, hanya tercampur dengan sedikit pengetahuan Arab, karena terpaut oleh agamanya yang sudah Islam. Namun beralihnya dari agama Budha belum terlalu lama, jadi masih banyak Jawanya, sebab serat Nitisruti dikarang pada tahun 1513, jadi sampai tahun Jimakir: 1850 sudah 347 tahun lamanya.
Adapun serat Nitisruti ini induknya masih banyak memuat kata-kata bahasa Kawi dan sudah dijarwakan atau diartikan, tetapi penjarwaan pada waktu itu, diartikan dan dibandingkang dengan makna kata-kata sekarang, masih sukar. Sekarang sedapat mungkin saya jarwakan dengan arti yang kini berlaku, dan selanjutnya saya gubah dalam syair (tembang) "Macapat", supaya mudah dapat dibaca, dipahami dan dihayati. Sebab sayang sekali kalau sifat asli pengetahuan Jawa yang halus dan lembut itu tidak diketahui orang banyak.
Tak lain permohonan saya, kalau terdapat kata-kata maupun kalimat yang dirasakan janggal, sudilah para pembaca yang tinggi pengetahuannya dapat memberikan maaf sebanyak-banyaknya. Dan jabaran serat Nitisruti itu adalah sebagai berikut:
Catatan: Dalam serat Nitisruti ini menurut zamannya banyak disebut Raja, abdi Raja, dan seterusnya. Bila kata Raja itu diganti dengan Pemerintah, kadang-kadang dengan Penguasa atau Pembesar, kiranya lebih cocok dengan keadaan sekarang. Adapun setuju atau tidak dengan isinya, itu adalah soal lain.
--- 37 ---
I.
1. Yang ingin dicapai dengan buku Nitisruti ialah agar buku ini dibaca dengan saksama, isinya diambil sebagai teladan sepantasnya untuk memperoleh pengetahuan yang layak bagi jaman sekarang yang menuju ke jaman kemajuan. Maksudnya untuk mencapai kesejahteraan bagi kebaikan Nusantara, jangan sampai terlanjur-lanjur terbelakang dalam hal ilmu Pengetahuan.
2. Dahulu para ahli bahasa Kawi terlampau terikat dalam soal pengetahuan tentang kehidupan sejati, akhirnya terlalu banyak menyibukkan diri dalam kenikmatan mengetahui soal kematian. Dengan demikian maka soal keduniaan menjadi terbelakang sebab tidak diperhatikan. Karena itu sekarang yang diinginkan para sarjana, yaitu mereka yang berpengetahuan tinggi, agar juga kesejahteraan dipelajari dan diperhatikan.
3. Kesejahteraan duniawi agar juga dibangkitkan guna mempertinggi derajad dalam mencapai sesuatu sepantasnya. Tetapi janganlah sampai melupakan tata hidup yang diwariskan sejak dahulu. Nitisruti merupakan semacam induk dari kesemuanya itu, supaya inti maknanya jangan hilang dari tata hidup masyarakat Jawa. Demikianlah maksudnya.
4. Sebenarnya hati nurani ini seperti lautan api yang dikendalikan, yang ditenggelamkan, tetapi setiap kali timbul-timbul saja. Akhirnya pada suatu hari, yang dalam hitungan Jawa ialah hari Rabu Legi, bulan Sura tahun Wawu 1513 Saka (1590 M), dikaranglah Serat Nitisruti ini.
5. Maka itu perlu diketahui dan diteliti apa yang terkandung dalam hati untuk dapat melestarikan kesejahteraan. Bila kesejahteraan masyarakat yang dituju, amati dan telitilah baik-baik segala solah-tingkah orang lain. Meskipun tidak berhasil, janganlah itu terlalu dirasakan dan menyedihkan hati; sebab itu adalah hanya kekurangan pengetahuan kita
--- 38 ---
sendiri yang masih terlalu terikat pada lahiriah yang menyesatkan.
6. Dalam ajaran itu, hanya seperti tulisan dengan tangan, tetapi harus didasari kepandaian dan kebijaksanaan. Karena itu permohonan saya sekarang, kepada semua yang bermaksud memberikan ajaran kesejahteraan dalam kehidupan, janganlah sembarangan saja, melainkan harus yang serasi dengan hati nurani murni.
7. Dahulu rahasia dalam ajaran itu hanya mengambil hal-hal yang telah tertinggal dan terlupakan, lalu diolah sekedarnya. Hal-hal itu adalah ajaran para sarjana dahulu yang termasyur, yang tinggi pengetahuannya, pandai dalam olah ilmu pengetahuan, dan telah berwenang dan siap memberikan ajaran serta sedia mengabdikan dirinya.
8. Uraian dalam buku yang disebut Nitisruti maksudnya sebagai ajaran tata hidup yang sejati. Ini memang telah menjadi watak para ilmuwan yang unggul dan luhur. Hati nuraninya seperti cendana indah; meskipun ditebang, dipotong-potong, bahkan akan menyebarkan bau harum, sebab hatinya luas, bersih, kelihatan seperti angkasa tanpa diliputi awan.
9. Ajarannya sebagai bau harum merasuk ke dalam hati tak ada habis-habisnya. Memberikan darma baktinya kepada orang banyak, karena telah meninggalkan dan membelakangi segala keinginan yang tak baik. Hatinya suci bersih, kasih sayang terhadap semua yang hidup, suka menolong sesama manusia yang sedang dalam kesengsaraan. Itulah sifat-sifatnya.
10. Siang malam yang diharapkan hanya kesejahteraan dunia raya. Dengan pengetahuan dan ajarannya yang tinggi, yang digauli dan digulati serta diusahakan setiap hari, ia menjadi teladan para pemuda agar mereka ini sedia menghayati dan meneruskannya ke zaman yang akan datang. Terserah bagaimana [bagai...]
--- 39 ---
[...mana] mengambil ilmu pengetahuan tinggi, itu tergantung dari maksud dan tujuan masing-masing.
11. Sebagai permulaan uraian ini, yang diutarakan ialah kedudukan seorang pandita, cerdik-cendikiawan yang telah benar dan sesuai kedudukannya, yang telah tulus jujur rasa hatinya, hatinya besar luas tak teraling-alingi oleh sesuatu, karena sudah mengetahui serta menyadari kedudukannya; dan pula yang dihormati dan dijunjung tinggi. Jadi telah cocok dan tepat menguraikan keadaan sejati yang menuju ke kesejahteraan.
12. Namun inti uraian yang sebetulnya tidak akan terbuka dihati manusia yang tanpa pengetahuan itu, dan juga para muda yang bersifat sombong tetapi bodoh tanpa pengertian. Karena itu rasa hati harus bersedia mengambil teladan dari para pandita cerdik pandai yang telah memiliki ilmu dan pengetahuan sejati.
13. Maksud rasa hati kalau telah sampai pada keilmuan yang sejati, maka telah hilanglah kekotoran tubuh, telah bebas dari segala yang tak baik, seperti telah menjadi tubuh yang cantik bersih. Dan kalau hal itu telah sampai di luar-dalam, tindakan serta perbuatannya pun selaras dan seimbang, bersih tak tercampur kotoran apa-apa. Dan akhirnya sudah dapat disebut telah sirna atau hilang sebagai manusia.
14. Artinya yang demikian itu ialah sudah tidak ada Gusti dan Hamba, karena rasanya sudah hilang. Adapun yang tidak memahami pengetahuan yang telah diuraikan itu, tidak dapat diceritakan bagaimana cara hidupnya. Sebab hidupnya telah penuh dengan bisa; hanya dosa yang didekati dan dilakukan. Sangat berbeda dengan yang sudah sentosa budinya.
15. Karena mendapat anugerah Tuhan, segala sesuatu yang dibicarakan, semuanya telah berguna bagi masyarakat dan negara. Karena selalu dilindungi dan dijaga oleh yang Agung, maka selamat dan tercapailah apa yang dimaksud.
--- 40 ---
semua ajarannya tidak menjauhi Yang Maha Kuasa; seperti orang yang telah mengetahui apa yang akan terjadi, karena dilindungi dan dijaga oleh Yang Maha Agung.
16. Dan hatinya sudah benar-benar suci, kedudukannya sudah lebih kuat, dan dengan demikian sebetulnya telah menjadi sarana memahami pemanunggalan sejati, ialah memenggalnya Gusti dan Kawula. Kedua-duaya selaras karena benar-benar memahaminya. Dan telah dapat pula dinamakan sarana sejati, tetap mantap perlengkapannya.
17. Perlengkapan orang untuk olah ilmu, pertama-tama, mantap tiada hentinya; manis tutur kata serta budi bahasanya agar enak dirasakan. Jika demikian, dapatlah dikatakan telah siap, luar dalam serasi seperti madu dengan manisnya. Telah terasa menjadi satu yang sejati; tak dapat dipisahkan.
18. Keduanya, dalam olah tata rasa atau tenggung[1] rasa perlu mengamati dan meneliti perbuatan atau ulah yang tidak baik, dicampur dengan olah kebenaran. Perlu diketahui pula siap siaganya pengetahuan. Bila hidup itu mengandung bisa, jelas tak akan sejahtera; dan jika tawa mengandung rahasia, meskipun luhur dan tak berbisa misalnya, tawa seperti itu ke arah utara kena, tetapi ke arah selatan pun kena.
19. Bila demikian, sebetulnya masih dapat dibuka dengan tenggang rasa, usahanya tidak sukar. Adapun ketiganya, yang disebut olah antara, ialah olah timbang-menimbang. Dengan memperhatikan tujuan, harus ada imbangannya dalam kemampuan. Dan kemampuan yang boleh dipakai, harus ada diantaranya.
20. Yang keempat ialah diterapkannya hal-hal yang sebaiknya, guna mengimbangi diterapkannya kemampuan yang ada diantaranya. Perkiraan mana yang dianggap sebaiknya beserta penerapannya harus sesuai dengan yang dituju, perkiraan itu jangan diubah-ubah. Dalam pemikiran janganlah tergesa-gesa, dalam
--- 41 ---
tindak-tanduk atau perbuatan janganlah keliwat[2] cepat. Tunggulah saat sampai telah siap siaga, tetapi dalam menjalankannya pun harus tetap tenang.
21. Janganlah meninggalkan ajaran dari zaman yang sudah-sudah; ajaran itu kinipun sebaiknya dikenal dan dimengerti, agar dapat diambil yang sebaik-baiknya. Adapun yang kelima adalah kemauan dan kesediaan dalam tiga hal. Pertama, sanggup membela sampai mati; kedua, mematikan keinginan; dan ketiga, membersihkan raga atau tubuh. Masih ada lagi kalau semuanya disebut, tetapi itulah yang menjadi inti keluhuran.
22. Dengan pendek, yang menjadi inti adalah tekad dan kemauan; harus selalu sanggup dan tidak enggan serta sedia melakukan segala pekerjaan, walaupun mengalami kesulitan. Bila sudah berani tanpa mengelak dan goyah, tempuhlah walaupun terhalang gunung baja atau lautan api. Dan kalau telah berani, janganlah sangsi atau bimbang. Akhirnya keberanian dan keperwiraan itu akan dipercayai dan diakui oleh orang diseluruh negara.
23. Yang keenam dan sangat penting meliputi penguasaan segala bahasa; artinya bahasa disini semua sarana untuk berhubungan. Dengan menguasai segala bahasa itu, kita dapat berhubungan baik dengan siapa saja, yang besar maupun yang kecil, yang tinggi maupun yang rendah; dapat mengetahui segala polah tingkah masyarakat, negara, dan dunia; dapat menyelami apa yang dikandung dalam hati. Dan pengetahuan serta penghayatan itu agar digunakan bagi kesejahteraan rakyat di seluruh negara dan bagi perdamaian dunia.
24. Rasa asih terhadap sesama manusia itu supaya dapat juga diisi dengan kepandaian. Janganlah terlanjur lekas marah, dapatlah mengendalikan rasa; sebab bila telah terlanjur marah, pengetahuan serta kepandaian akan menjadi kurang dan tak terkendalikan lagi; keimbangan rasa hati akan hilang. Padahal rasa hati dan pengetahuan yang selalu timbul, seharusnya [seha...]
--- 42 ---
[...rusnya] yang selalu baik dan telah merasuk dalam jiwa.
25. Jadi jagalah agar perasaan jangan sampai jelas terlihat pada wajah, bahkan jangan sampai terlihat sama sekali. Wajah selalu hanya terlihat tersenyum, pandangan dan lirik mata selalu tenang, sesuai dengan rasa hati yang telah mengetahui. Bila ada orang yang sengaja melawan, perhatikanlah ia dengan waspada, agar jangan sampai rahasia terbuka dan diketahui.
26. Maka itu bila bicara mengenai sesuatu, dapatlah yang teratur secara baik dalam kata-kata, usahakanlah yang sebaiknya, dan aturlah tindak-tanduk sesuai dengan tata krama yang berlaku. Kata-kata yang diucapkan perlu dicampuri hal-hal yang menarik; menarik seperti nyala lampu misalnya, yang pelan-pelan tetapi kena, dan perhatian pandangan terpikat.
27. Sebab orang sarjana cerdik-cendikiawan yang unggul dan telah memiliki yang unggul dan telah memiliki yang unggul dan telah memiliki[3] kepandaian, tak kelihatanlah segala itu pada muka wajahnya. Kelihatannya sepi biasa saja tetapi mencakup dan melingkupi segala ilmu dan pengetahuan. Maka itu janganlah rasa hati sampai ketahuan. Dan dalam pandangan agar tenang dan dibarengi dengan rasa lembut serta tutur kata yang manis bila berwawancara dengan orang lain.
28. Dan tekad orang yang berani mati, itulah yang menjadi penyebab keberanian; sakit malu tak dihiraukan. Tetapi bila kemarahan yang besar lekas diperlihatkan dengan kata-kata bernada keras dan sombong, hal demikian akan dinilai keluar dari orang yang tak berani untuk menutupi ketak beraniannya.
29. Maka kalau kata-kata ucapannya tanpa dikira-kira dan tidak dipertimbangkan, serba tergesa-gesa hanya menuruti hatinya, meskipun kelihatan seperti gagah berani, akan ketahuan pula bahwa tidak dapat mengekang keinginan, hanya membiarkan lepasnya hawa nafsu, tidak awas dan tidak éling, tindakannya tanpa diduga-duga dan hanya ingin memperlihatkan [memper...]
--- 43 ---
[...lihatkan] bahwa berani. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak baik dan pantas.
30. Karena itu selalu tenanglah dan berbicara manis, mata selalu kelihatan senang tetapi jangan tak waspada, keluarnya tutur kata agar dengan tenang. Jika benar-benar ingin jangan sampai segera kelihatan, jangan terlalu berani dalam tingkah laku, dan jangan sombong atau mengamuk seperti banteng mencium bau mesiu yang menyeruduk dengan hebat, menerjang tanpa memperhitungkan bahaya.
31. Jangan mengaku sebagai yang terbesar di dunia, bersumbar-sumbar menantang sembarangan dengan kata-kata sombong takabur dan sangat angkuhnya. Mengaku dialah yang paling berani tiada bandingnya di seluruh negara; itu semuanya merupakan tindakan yang tak pantas. Watak dan kebiasaan orang yang demikian itu memang hanya sekianlah puncak kemampuannya. Akhirnya kalau mengalami ujian yang benar-benar, berlainan sama sekalilah keberaniannya.
--- 44 ---
II.
1. Watak yang sombong dan mengaku berani lebih-lebih kalau sudah diatas panggung[4] kuda, orang semacam itu memegang tombak dan menusuk tanah; kelihatannya seakan-akan kekurangan musuh dalam peperangan. Kuda dikencangkan larinya sambil berteriak-teriak seru. Tetapi ya hanya sekian puncak keberaniannya.
2. Bentuk berperang seperti itu, tetapi tindakannya hampa seperti sampah, itu merupakan tanda watak yang rendah. Berani mengatakan diri sabar terhadap orang lain, tetapi tidak tahu bahwa dirinya kelihatan takutnya, mengelak karena tidak berani. Itu juga tingkah laku yang tidak terpuji.
3. Maka jauhilah solah tingkah yang rendah dan memalukan kelihatannya. Dan ambillah teladan dari para cendekiawan dan para sarjana pandai. Mereka ini memancarkan bau harum semerbak wangi, seperti telah disebut dalam buku bacaan mengenai cerita seorang patih bernama Koja.
4. Dia seorang patih dari kerajaan Mesir yang kepandaiannya menata negara dijabarkan menjadi ajaran sebagai petunjuk dan pegangan bagi rakyat di seluruh negara. Dan ia sendiri mengenai sikapnya selalu sabar, pandangan matanya selalu tenang, tutur katanya selalu manis, jangan sampai ia dianggap seorang yang bijaksana.
5. Adapun cacad tindak-tanduk yang selalu mengadakan perhitungan kalau ingin mencapai sesuatu dengan meninggalkan yang benar, ialah tidak mengetahui asal mula yang diperoleh. Tetapi karena ucapannya lancar dan pandai berbicara, banyak orang terkecoh karena kata-katanya yang kedengarannya meyakinkan.
6. Akhirnya tutur bahasanya menjadi ngawur, ajaran serta pendapatnya tak ada manfaatnya, karena kurang memahami bagaimana caranya mengadakan pendekatan dan bergaul dengan orang lain. Dan karena kurang pemikirannya, yang
--- 45 ---
ingin dijangkau lalu yang bukan-bukan. Dengan demikian maka orang seperti itu ditinggalkan, bahkan dijauhi orang lain, tak lain karena tersesat mengaku pandai.
7. Dan akhirnya mengalami kerugian besar; sudah banyak berbicara namun bicaranya tiada hasil, hilang laksana ditiup angin. Maka itu, sebelumnya pun telah disebut dalam ajaran dari dulu, bahwa tutur kata yang diucapkan dengan cara yang baik, dibarengi dengan perbuatan yang terpuji, itu semuanya menjadi tata krama hidup.
8. Tata krama dan cara hidup yang perlu diteruskan kepada rakyat di seluruh negara. Maka telah pula ada ajaran yang diuraikan dalam tiga hal, ialah pertama solah tingkah yang tenang namun mengetahui bagaimana sebenarnya yang utama, yang madya, dan yang rendah.
9. Ditambah lagi dengan makna ajaran yang mengandung tiga hal tersebut, seperti yang telah diuraikan sebagai tata hidup para cerdik pandai. Yang kedua ialah cara hidup para saudagar, dan yang ketiga yaitu tingkah laku para penjahat. Itulah yang disebut watak utama, madya, dan nista (rendah).
10. Tetapi walaupun tingkah laku penjahat, ada pula yang nista, madya dan utama, karena sangat banyak jenis dan caranya membegal, merampok, menyerobot. Tetapi ada juga maling atau pencuri wanita, ada pencuri harta benda di waktu malam. Cara-cara melakukannya pun berbeda-beda, ada yang menggunakan alat, ada yang mendobrak menjebol rumah.
11. Ada pula yang bahkan membunuh orang. Adapun penjahat utama ialah yang berani memperlihatkan diri tanpa sembunyi. Sebabnya dikatakan jahat, karena berlaku salah, tetapi ia dapat melebihi banyak orang, dapat menyamar bergaul dengan mereka, dan tingkah lakunya seperti orang yang berulah budi, yang berbuat baik terhadap
--- 46 ---
sesamanya.
12. Dan sering melatih raga memusatkan jiwa kepada yang menjadi maksud hatinya, memohon agar yang dituju dapat tercapai. Sebab meskipun orang seperti itu berlaku salah, ia dapat juga mengatakan dan memahami kesempurnaan laku. Adapun laku yang madya ialah yang hanya diam dan menunggu saat terlena.
13. Ada yang memakai alat, menggunakan kunci palsu pembuka, atau pencongkel pintu, atau gunting untuk membuat lubang. Dan yang dinamakan maling nista atau rendah ialah yang dengan tak malu-malu mencopet, menjambret, mengutil, merebut. Meskipun ketahuan dan dipukuli, tidaklah dirasakan atau merasa malu karena memang orang yang rendah budinya, hanya memburu dan menuruti hawa nafsunya.
14. Itulah yang paling nista, hanya memburu-buru seperti rayap memangsa kayu. Orang seperti itu siang malam tak hentinya melampiaskan nafsu; maka hilanglah sifatnya sebagai manusia, tubuhnya seperti telah nazis seluruhnya. Adapun cara hidup saudagar berbudi kuat dan sentosa hanya tekun rajin dalam bekerjanya, agar tujuannya dapat tercapai.
15. Tetapi cara mengumpulkan harta bendanya itu sering dengan tidak menghiraukan kerugian orang lain. Yang dituju hanya banyak laba dan untuk itu tidak segan-segan menipu dan memalsu. Hal itu jelas merusak, merugikan orang lain maupun dirinya sendiri; dan jika tidak berhasil, habislah usahanya. Ada pula saudagar yang lain lagi tingkah lakunya.
16. Ia tidak mau berkenalan dan bergaul dengan orang miskin, tidak mau berbicara dengan orang yang derajadnya lebih rendah. Meskipun berjumpa, iapun menghindarkan diri; barangkali takut ditulari nasib sial orang-orang miskin itu. Bila ada pengemis, dimaki-maki karena pengemis dan akhirnya dihalau secara kasar agar lekas pergi.
17. Janganlah sampai pengemis itu mendekatinya, atau sampai masuk ke halaman, apalagi menginjak rumahnya. Dan sungguh [sung...]
--- 47 ---
[...guh] mengecewakan tindak-tanduk orang yang sudah lupa daratan itu; seakan-akan sudah tidak bernalar dan hatinya seakan-akan tertutup terhalang oleh keinginan. Ia tak menyadari lagi asal hidupnya, karena hanya tergila-gila akan kesenangan.
18. Yang terlihat olehnya tak lain hanya harta benda, hingga lupa pada Tuhannya. Manusia yang demikian itu tentu akan celaka dunia akhirat. Bila sedang dalam kesusahan, tidak ada yang mau menolongnya, sebab ketika sedang kaya raya, ia senang berbuat sewenang-wenang menyakiti hati orang; dan terhadap Yang Maha Esa ia lupa tanpa éling sedikitpun.
19. Adapun perbuatan orang yang utama, kebanyakan melatih diri. Berlatih agar dirinya menjadi orang luhur budinya. Ada yang biasa menyepi di hutan atau di gunung. Ada pula yang ada di tengah-tengah masyarakat ramai, dan ditawari berbagai harta benda yang mewah-mewah dan tak lupa wanita yang ayu-ayu.
20. Supaya segala sesuatu itu menyenangkan semua orang yang melihatnya, agar disayangi orang banyak, dan senang bila dikatakan dapat memenuhi keinginan orang: adapun maksud seorang berbudi luhur ditengah-tengah kemewahan seperti itu, agar selalu dapat mengendalikan diri; dapat diumpamakan sebagai bunga yang sedang disimpan. Walaupun disimpan, bau harumnya akan memancar semerbak ke mana-mana.
21. Tak urung banyak orang yang mencarinya, ingin mencium bau yang wangi. Tetapi dalam pada itu jarang yang mengetahuinya, karena tidak kelihatan. Berbeda dengan yang jelas dapat dilihat, tampak terang tapa-bratanya, jarang tidur dan makan sangat sederhana seadanya saja, dan menyingkir dari keramaian dan kesenangan.
22. Sebab laku bertapa ditengah-tengah masyarakat ramai itu melebihi perang sabil terhadap yang bermaksud merusak dan merintangi agama. Dan yang lebih utama seyogyanya
--- 48 ---
ialah yang termasyur, yang terkenal di mana-mana, yang suka menyebarkan bau harum dan wangi, yang hingga jauh kemudian berterus kepada anak dan sanak saudara.
23. Semuanya patuh terhadap agama; agama yang diturunkan Tuhan melalui Rasul. Mukhadimin-il-Mustafa, terus di lahir batin, sebab jika tidak terus dibatin, itu batal dan hilang tak akan dapat timbul. Dan karena restu dan anugerah Tuhan itu benar-benar sempurna, maka hal itu tidak boleh dilakukan dengan pura-pura saja.
24. Karena itu para pandita atau pertapa yang menghadap Tuhan di tempat-tempat sepi, yang menyendiri di dalam gua-gua dengan tak makan dan tak tidur, mengekang segala hawa nafsu, mematikan segala rasa serik guna menghilangkan semua rasa dendam, namun bila tersesat dari berkah bertapa, akan tak banyak guna.
25. Artinya bila masih senang kalau dipuji-puji, maka tahan lapar dan tidur dengan "mematikan raga" itu tidak akan memperoleh "sorga" (anugerah Tuhan), bahkan mungkin "neraka" (siksaan Tuhan) yang didapat. Maka keluhuran akan hilang, mengekang hawa nafsu dan mematikan raga tak berguna, akhirnya juga tanpa hasil. Yang dituju tidak sampai, dan akhirnya hanya tinggal susah dan berkeluh-kesah.
26. Tapa bratanya tidak diterima oleh Yang Maha Agung. Misalkan wayang di layar kelir, terpaksa menangis sendiri, dalangnya tidak mengetahui. Karenanya, laku manusia pertapa yang ditengah-tengah masyarakat dan yang di gunung, tidak dapat disamakan. Yang tapa di masyarakat harus turut segala tata tertib yang diperoleh harus ditata dalam jiwa.
27. Yang bertapa ditengah masyarakat, disamping yang dituju, ialah yang berpusat pada ketenangan jiwa, tata krama pun tak boleh ditinggalkan. Meskipun sedang berjalan di jalan besar, ketenangan jiwa tak boleh ketinggalan. Tata krama yang sejati terungkapkan pada pandangan mukanya yang manis, dengan menghilangkan rasa dendam hingga terus
--- 49 ---
sampai di lubuk hatinya.
28. Jika hatinya masih merasa sesak karena serik atau kecewa, itu menandakan bahwa masih rendah tingkatnya. Hal itu tentu akan terlihat di mata yang pancarannya agak kusam dan tidak manis, karena masih mangandung serik atau kecewa, masih belum dapat mengekang nafsu seluruhnya. Dan cacad besar bagi sang petapa[5] ialah jika ia masih gemar dan tenggelam dalam harta benda.
29. Sebab harta itu mendatangkan kemudahan dan kesenangan hati. Tetapi lalu menjadi sedih, resah, dan kacau seluruh keinginannya, bila ada yang datang dan membawa serta tanda terima kasihnya. Tetapi mata lalu menjadi terang gembira sebagai ungkapan dari keinginannya. Dan akhirnya tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya.
30. Karena masih sangat meyayangi, suka akan segala sesuatu yang bagus indah, akhirnya terlalu biasa menuruti hal-hal keduniaan. Seperti tingkah laku orang di kota yang mengabdikan diri kepada Raja, jelas yang diabdikan harus seimbang dengan yang diberikan oleh Raja. Dan karenanya harus berhati-hati dalam polah tingkahnya.
31. Harus setia dalam hati dan jelas dapat melihat apa yang menjadi kepentingan Raja, dan pula perlu bergaul dengan baik serta disayangi sesama kawan pengabdi. Jadi dapat mencakup seluruhnya dan tidak ragu-ragu dalam menjalankan tugas kewajibannya. Salah[6] tingkah serta tutur kata menjadi pertanda yang baik dan yang jelek.
32. Dengan tanggapan perasaan terbuka terhadap prakarsa Raja, seperti dalam ajaran Patih Koja dari Negara Mesir yang memberikan ajaran dan pesan-pesan cara mengabdi kepada Negara, sebaiknya menghilangkan keinginan sendiri lebih dahulu karena pada zaman itu cara mengabdi pada Raja adalah sebagai berikut.
33. Cara orang mengabdi yang dinamakan baik dan semestinya pada zaman itu, ialah rasa hati yang hanya terserah menurut
--- 50 ---
kehendak dan keinginan Raja. Dibuat seperti tubuhnya bercermin pada cermin besar. Solah tingkah bayangan yang ada dalam cermin, tidak berbeda dengan yang sedang bercermin di depan cermin.
34. Dan jangan sayang kepada istri dan anak-anaknya serta kepada sanak saudaranya; artinya hanya sayang kepada pengabdiannya. Sebab jika tidak demikian, jelas tipis harapannya dalam mengabdi itu; tak ada gunanya bahkan akhirnya hanya tersiksa dan hanya memberati diri saja. Dan pengabdiannya tidak diterima dan buyarlah segala yang dicita-citakan.
--- 51 ---
III.
1. Karena itu hanya salah satu yang dapat dilaksanakan. Dan jangan sampai bimbang serta tiap kali berhenti dan menengok ke belakang bila telah mengabdikan diri kepada Pemerintah dan Negara. Bila masih demikian, lebih baik menyingkir dan bertapa di guwa[7] atau di gunung yang sepi, dan jangan ada di masyarakat ramai.
2. Dan yang membuat gara-gara, yang membuat keonaran besar adalah salah tingkah[8] manusia sendiri. Dan dalam zaman kekacauan itu, bukanlah tingkah laku jagad, melainkan kelakuan manusia yang menjadi penyebabnya; manusia yang mengaku pandai dan berguna.
3. Manusia-manusia yang menawarkan hal yang bukan-bukan, yang membeberkan beraneka ragam persoalan, yang berbicara lantang tiada batas, dan menjabarkan ajaran dengan mengaku dialah yang pandai dan bijaksana.
4. Dan mengatakan dengan gagah, dialah yang akan mengayomi mereka yang miskin dan terlantarkan, ialah yang akan melindungi yang ada di gunung dan lembah, agar mereka sejahtera dan bahagia. Namun akhirnya yang miskin bahkan menjadi bingung, saling berebutan, tak tahu apa yang harus dilakukan.
5. Semuanya berduyun-duyun mengerumuni yang memberitahukan akan menjaga kesejahteraan mereka. Banyak yang meninggalkan keperluan rumah tangganya; akhirnya tanpa bertanya hanya berduyun-duyun ikut beramai-ramai dengan tak mengetahui pokok soalnya.
6. Kembali pada soal mengabdi kepada Raja, maka bila ada kehendak dari Raja yang sedang berkuasa, harus pasrah terserah demikian saja. Semuanya hanya menunggu mengikuti dan menuruti kemauan Raja, karena Rajalah yang berkuasa memberi hidup dan mati.
7. Harus tahu mengabdi, mantap dan setia dalam jiwanya, menyerah hingga di dalam lubuk hatinya, merasa dan menyadari bahwa dirinya itu abdi, dikuasai mati hidupnya oleh
--- 52 ---
sang Raja, dan bila perlu dapat merasa bahwa dirinya tak memiliki hidup sendiri.
8. Ia harus mantap sampai mati dalam membela kehendak Raja yang tidak mengenal waktu. Adapun aturannya, bila disayang dan disisi Raja, yaitu bila disuruh tidak usah mendapat pujian.
9. Dan yang menjadi tanda bukti bahwa hasil karya yang ditugaskan oleh Raja itu diterima, petugas yang berhasil sering menerima hadiah dari Raja. Tetapi bila sudah demikian, janganlah menjadi lengah dan sembarangan; janganlah hati lalu menjadi pasang surut.
10. Pasang surut itu artinya bahwa kesediaan bekerja jangan lalu kali ini rajin, namun lain kali menyeleweng dengan tak berketentuan. Jangan mengandalkan bahwa jasanya sudah diterima. Janganlah sekali-kali demikian, karena kesayangan Raja tidak dapat diandalkan.
11. Sebab bila ada kehendak Raja untuk mencoba suatu jebakan, awaslah dalam melihat dan memperhatikannya seperti dalang melihat dan memperhatikan wayangnya bagaimana gerak yang semestinya. Semuanya harus dilihat dengan waspada agar dapat mengetahui apa yang dikehendaki sang Raja.
12. Dengan demikian, jika ada percobaan jebakan batin yang terselubung tidak kelihatan, sebenarnya itu sudah terjabarkan terbentang dihadapan anda. Maka hati-hatilah, sebab bila anda tidak mengetahui atau melihatnya, tentu anda termasuk perangkap.
13. Bila anda keliru tampa, artinya keliru menerima atau menangkapnya dan tidak mengetahui pertanda isyaratnya, karena kurang awas penglihatan dan anda tidak menangkap lirik atau pandangan matanya, maka akhirnya akan mendapat celaka terus menerus, terjebak karena perangkap.
14. Karena terlena dalam pemikiran dan penerimaan, jadi lalu termasuk jebakan berhubung tidak memahami kehendaknya. Dan bila hanya mengandalkan keteguhan hati, anda bahkan
--- 53 ---
akan kelihatan seperti orang masih muda yang sombong, sama saja dengan yang telah melakukan kesalahan.
15. Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita anda, karena selalu bimbang hati dan terlanjur berhenti setiap kali di jalan, maka maksud tak dapat diteruskan sebab tak dapat melakukan perintah Raja. Itu hanya karena anda tersibuk dalam mengaku diri sebagai orang yang pandai.
16. Lain dengan orang yang mantap hatinya, dicoba pun tidak terkena dan tidak mempan. Selalu teguh terpusat pada tujuannya, ialah keinginan dalam hati agar dapat disayangi Raja. Yang diturunkan atau diberikan itu jangan sampai keliru, melainkan benar-benar karena pengawasan yang teliti.
17. Karena telah menyadari bahwa sang Raja berkuasa menjalankan pemerintahan, maka harus waspada dan hati-hati dalam tingkah laku, tetap ingin mengabdi setia di dalam hati.
18. Bila kebetulan sedang melihat kilatan pandangan mata sang Raja, pandangan muka anda harus tenang dalam menerima perintah Raja, anda harus mengetahui yang dimaksud. Dan apapun yang anda lakukan, harus berkenan dalam hati sang Raja.
19. Pandangan muka anda harus yang manis, kelihatan ria gembira. Meskipun hanya kelihatannya saja itu perlu untuk kebaikannya. Sebab bila tidak kelihatan gembira, itu sama saja dengan orang yang tidak tahu akan isyarat pandangan muka, dan akhirnya menimbulkan salah rasa.
20. Jika belum dapat mengetahui dan memadukan yang menjadi kehendak Raja, lebih baik tundukkan kepala saja dengan pikiran yang tajam dan hati yang tenang. Sikap janganlah goyah di depan Raja, agar menjadi seperti bahan bagi api yang menyala terang benderang.
21. Supaya mendapat kasih dari Raja yang menyayangi abdi karena keberhasilannya, maka jika sedang dapat melegakan
--- 54 ---
hati sang Raja, sebaiknya ketahuilah pula apa yang menjadi sebab-sebabnya.
22. Dan ketahuilah pula sebabnya bagi yang tidak memperoleh kesayangan, sebab itu menjadi penerangan yang tampak, dan menunjukkan hal seperti yang terkandung dalam peri bahasa;[9] Tidak ada air yang mengalir ke atas.
23. Sebagai abdi tentu tidak dapat mengingkari kehendak Raja; sebaiknya harus mengikuti apa yang diinginkannya. Dapat diumpamakan seperti wayang yang sedang bicara; tentu mendapat sahutannya.
24. Para pembesar seluruh negara yang menjadi kelir atau layarnya, dan wayanglah yang mengambil solah tingkahnya sebagai teladan. Kesalahan orang mengabdi ialah, jikalau ia hanya malas-malas dan main-main saja, tindakannya selewengan dan tak memperhatikan. Itu memang ada sebabnya.
25. Sebabnya ialah karena tidak memeriksa dan tidak memperhatikan, tidak tahu menempatkan diri, selalu mengumbar suara yang ramai, hanya ngawur saja apa yang menjadi pusat perhatian, dan tutur bahasanya pun tidak teratur. Itu karena telah kedahuluan timbulnya rasa bahwa telah disayangi.
26. Lagipula sama sekali belum mengetahui cara bagaimana menerapkan rasa hati yang sejahtera, tergesa-gesa mengaku dirinya yang pandai. Dalam hal demikian, maka usaha untuk memperoleh kasih sayang sang Raja, jelas akhirnya tidak akan berhasil dengan memuaskan.
27. Sebetulnya jarang yang dapat dan mampu memahami inti wawasan seperti yang telah dikatakan semuanya itu. Jika tidak mendapat ilham atau wahyu dari Tuhan, tidak keturunan Lailat-ul-Kadar, sebetulnya belum pernah terdapat orang pandai dan waskita bijaksana tanpa bertapa.
28. Kecuali hanya Nabi Mukhamad s.a.w., suruhan Tuhan yang benar-benar Rasul Tuhan beserta para Khalifah-Khalifahnya
--- 55 ---
yang hingga zaman sekarang memang pandai bijaksana tidak ada yang dapat meniru, bila tidak dengan bertapa mengabdi
29. Maka itu, orang mengabdi kepada Raja harus dapat diandalkan. Dapat diandalkan itu banyak seginya; dapat diandalkan terhadap wanita, terhadap harta benda, terhadap olah pemikiran dan kebudayaan.
30. Masih ada lagi segi mengenai dapat diandalkan, ialah terhadap rahasia, tata krama, dan sopan santun, dan juga terhadap kemampuan dan kepandaian. Jika dapat diandalkan terhadap wanita, hendaknya seperti telur hidup, ialah tekad rasa hatinya diam tenang seperti orang tiada syahwat.
31. Penjagaannya terhadap wanita jangan sampai meninggalkan kesopanan dan kesetiaan, bila perlu sampai mati harus dibela. Bila sampai berani mencuri cinta, maka hal itu jelas berarti sangat menyalahi pengabdian.
32. Dan para kawan sepengabdian akhirnya tidak ada yang mempercayainya. Sebab aturan dalam mengabdi kepada Raja ialah menepati tata krama, dengan hati yang jujur. Selanjutnya juga dapat diandalkan terhadap harta benda.
33. Dalam hal itu hendaknya dapatlah berusaha bertambahnya harta benda, atau berusaha melipatgandakan. Dalam hati harus dapat menerima bagiannya sendiri. Jika dapat melaksanakan itu, niscaya akan mendapat kasih sang Raja.
34. Kalau tidak dapat menjalankan yang demikian itu, dan ada kehendak Raja tetapi terdapat kekurangan, sedialah membeayai itu dulu dari sendiri. Jika perlu beranilah berkorban dengan menjual harta benda sendiri, biarpun sampai anak isterinya.
35. Itu dilakukan supaya sang Raja tidak kecewa hatinya. Akhirnya Raja akan merasakan dalam hatinya bahwa abdinya itu jujur dan setia hatinya. Tetapi sebaliknya ada pula abdi
--- 56 ---
yang diandalkan, namun sangat gampang mengeluarkan dan membelanjakan kepunyaan Raja.
--- 57 ---
IV.
1. Maka orang semacam itu adalah orang yang serakahnya sebesar gunung. Dan jika bertindak demikian, siapa yang dapat mempercayai lagi. Pribahasanya:[10] siapakah yang mau mendekati pintu yang telah dimakan rayap.
2. Telah habis dimakan rayap siang malam tiada hentinya. Dari mana kemudian dapat lestari mengabdi kepada Raja? Lagipula bila dipercaya oleh Raja, perhatikanlah hal-hal berikut.
3. Perlu olah budi dan pekerti dalam mengeluarkan sesuatu yang masuk rahasia. Hendaknya selalu waspada, hati harus tetap awas dan tajam perasaannya, mengetahui segala sesuatu yang rumit, dapatlah menyimpan yang harus dirahasiakan supaya aman seterusnya.
4. Jangan berhenti berolah jiwa dan budi serta pekerti; sebaiknya lakukanlah "tapa dan mematikan raga", artinya mengurangi tidur di waktu malam, sering bersemedi memusatkan pikiran, jiwa, dan raga, serta "belajar mati", artinya menyiapkan diri sewaktu-waktu akan meninggal.
5. Dan yang tahulah cara menggunakan serta menerapkan peralatan apa saja. Itu guna mengalahkan musuh yang menyerang negara. Dan siap serta mampulah menerima isyarat dari sang Raja.
6. Yang selalu harus dilihat dan diperhatikan ialah mengenal pandangan muka; dari semula, selama sedang berlangsung, sampai pada akhirnya. Jangan sampai sesat pemikiran serta rasa hati meskipun sudah pandai dan mencakup segala pengetahuan.
7. Meskipun demikian belum tentu dapat diterima oleh Yang Agung bila belum mengetahui segala sesuatu yang dikehendakiNya. Maka itu rajinlah mesu budi, bersemedi, hingga dapat mengetahui Hakekat Yang Maha Agung.
8. Sampai tiba pada saat dapat melihat kehendak Yang Maha
--- 58 ---
Kuasa, kelihatan seperti gambar terukir dan diberikan di kelir atau layar, sampai mengetahui solah gerak wayang tanpa melihatnya.
9. Dan yang diserahi rahasia melestarikan lagu-lagu dari semula telah tidak ada lagi. Hanya dari kidung kakawin yang masih ada dan hendaknya anda berkasih sayang terhadapnya seperti Saudara.
10. Panjarwaan dan penjabaran mengenai keselarasan rasa, sifat-sifat lagu sampai habis tapis, segala rekaan susunan perlu dimengerti cara merakitnya hingga bagus, manis dan menyenangkan, agar diusahakan manfaatnya.
11. Dalam mengetahui seluk beluk kalimat yang rumit dan memahami arti yang terkandung, dengan menggunakan bahasa Kawi untuk karangannya, Wedhayaka dari Kediri benar-benar memperoleh kasih Raja.
12. Sebabnya Raja memberikan kasih itu karena tertarik, hatinya dibuat lapang dan puas. Jika hidup itu demikian, bukanlah itu yang sebaik-baiknya dalam usaha menjangkau yang semestinya dan secukupnya?
13. Mula-mula janganlah meninggalkan kerajinan dan ketekunan. Bila belum tahu, janganlah segan-segan bertanya dan kalau perlu menirulah. Akhirnya segala sesuatu menjadi baik. Dan jangan lupa berusaha selalu berbudi halus disertai tutur kata yang lembut manis, tetapi hati dan pikiran jangan sampai alpa.
14. Jangan hanya terpikat kepada yang mengenangkan[11] hati, akhirnya itu tidak pada tempatnya. Selalu awas, siap, dan waspadalah dalam hati. Seperti orang baik yang bersembunyi, meskipun tidak kelihatan, tetapi tetap memancarkan bahu[12] yang semerbak harum.
15. Mengenai sikap ikut serta dalam perjuangan negara, jika tiba-tiba ketahuan kesalahannya, janganlah lalu menjadi bingung tak melihat lagi mana yang baik, tak mengetahui lagi makna kata-kata yang penting, melainkan tetap mengerti
--- 59 ---
kilatan pandangan mata, dan memahami sinambungnya kata-kata.
16. Dan akhirnya bila yang ditangkap bukanlah nilai rasa serta makna kata-katanya, itu akan menimbulkan kesulitan bagi orang yang diajak bicara. Maka yang menjadi kekurangan maupun kesalahan bagi seorang abdi, jika kurang baik budinya, ia akan menjadi bodoh, lekas marah, dan dungu.
17. Sewaktu ada di depan Rajanya, terus menerus bengong, karena hatinya sangat sesat dan lupa. Berhubung dengan keinginan yang serakah, akhirnya berpikir untuk membantah dan tidak menurut.
18. Maka itu ketahuilah bagaimana sikap orang mengabdi kepada Raja. Di dalam hati siap sedia untuk menghilangkan rasa sakit hati dan ketakpuasan orang banyak, dapat menenangkan dan menentramkan hati kawan sesama mengabdi, supaya dapat dekat, rukun dalam pergaulan.
19. Hilangkanlah keinginan yang serakah dan wajah agar selalu ramah. Dalam pergaulan agar selalu tenang dan selalu memperhatikan segala pesan dan tidak melupakan yang dilarang maupun yang harus diingat dalam ajaran yang luhur.
20. Dan usahakanlah kemampuan yang agung, agar dapat menjadi teladan bagi orang banyak. Jika demikian, semua orang yang mendengarkan tentu akan sayang dan sangat tertarik.
21. Semuanya sayang menganggap seperti orang tuanya saja. Walaupun Raja dengan para putra beserta kaum kerabatnya, semuanya akan senang, akhirnya mereka pun menyayangi juga dan semua abdi semuanya akan disuruh mengikuti ajaran itu.
22. Yang demikian itu tentu akan selalu disetujui, semuanya senang hatinya. Meskipun orang dari luar negeri akan banyak pula yang menyenanginya, dan mereka itu merasa senang mencari ilmu yang luhur itu.
23. Orang-orang besar maupun para petani yang sifatnya merendah [meren...]
--- 60 ---
[...dah] diri, semuanya terungguli dalam segala tingkah lakunya. Teruslah melatih jiwa dan raga dengan mengikuti dan meneliti salah[13] tingkah manusia, disertai tutur kata yang manis.
24. Dan mengenakkan hati sesama manusia dengan pandangan muka yang selalu ramah karena telah kaya dalam rasa maaf-memaafkan, akhirnya kesemuanya itu tak lain hanya menentramkan hati sesama manusia, sesama makhluk Tuhan.
25. Dan lagi, bila anda sudah dapat membuat orang lain menjadi senang, termasuk pula senangnya rasa hati para pembesar, maka anda akan menjadi sumber segala tata krama, telah sewajarnya kalau dicari, didengarkan, dan ditiru sebagai teladan.
26. Diminta ajarannya sampai kapan saja di kemudian hari, ajarannya dilaksanakan. Adapun yang menjadi bisa dalam berolah budi yang serba baik, ialah bila anda senang menguasai, sesuatu hal yang memang kurang baik.
27. Solah tingkah senang akan hal yang kurang baik itu akhirnya akan kelihatan juga, sebab tata krama lalu direndahkan. Jika demikian, akhirnya kemudian anda tak urung akan penuh dengan watak yang jahat.
--- 61 ---
V.
1. Berbeda dengan keturunan bangsa yang berbudi luhur, orang yang budiman, rasa hati serta pemikirannya mencakup puncak yang sangat tinggi. Dan kedalaman serta kebesaran budi itu masih tetap terlihat meskipun dari jarak jauh.
2. Warna dan rupanya yang sejati dapat dilihat. Sebaliknya, rahasia orang yang disimpan di dalam hati, tidak dapat kelihatan atau ketahuan. Itu tidak dapat dijajagi karena dalamnya; wujudnya pun tak dapat dilihat.
3. Adapun yang telah awas dan waspada dalam penglihatan ialah yang pandai dalam memahami pandangan muka, mampu mengira-ira karena dapat mempertimbangkan yang baik dan dapat menjaga ketenangan pandangan muka jangan sampai lekas diketahui yang sebenarnya.
4. Bahwa kalau sampai ketahuan yang terkandung dalan hati serta apa yang diinginkan, itu karena buntu dalam pemikiran. Akhirnya terlihat pada pandangan matanya; yang disembunyikan semuanya kelihatan jelas; tak samar-samar lagi apa yang dikehendakinya.
5. Yang demikian itu bahkan sering dinamakan perjuangan negara, kata-katanya keluar dengan lancar, dan dalam musyawarah menghadap Raja, bila telah dapat yang demikian itu, seolah-olah sudah dapat menyelesaikan persoalan dan mengatasi serbuan musuh yang pandai mengatur siasat.
6. Membuat kagum semuanya yang hadir, seperti dilepasi panah yang berjejal-jejal di langit tak ada henti-hentinya, terus sampai di dasar bumi; seluruhnya penuh sesak dengan lepasnya panah rahasia.
7. Terkenanya panah tidak kelihatan, namun lika-lukanya merata karena tertimpa panah kata-kata yang mengenai tanpa henti-hentinya dan cepat menyebar tertabur menuju ke dalam hati.
8. Dan akhirnya dikatakan bahwa kesemuanya itu akan menambah [menam...]
--- 62 ---
[...bah] perbaikan dalam keinginan untuk mencapai keluhuran budi, hati menjadi senang girang, tutur kata keluar dengan sempurna, semuanya menjadi selamat sejahtera, dan terbukalah hati nurani yang bahagia.
9. Demikianlah keluarnya kata-kata yang kedengarannya sangat utama, menjadikan kebaikan dan kesempurnaan diri, kebahagiaan hati nurani, sebagai mahkota emas; dan ramahnya pandangan muka bagaikan tiara, kalung, gelang, dan sumping hiasan telinga.
10. Karena pandai melakukan tipu muslihat mengenai hal-hal yang penting dan rahasia, dicampur dengan ajaran-ajaran, maka telah siaplah semuanya itu sampai dalam hati dan kehendak, seperti cincin yang menyusup. Lalu keluarlah kata-katanya.
11. Kata-kata itu bagaikan panah yang memenuhi angkasa, bertubi-tubi tanpa henti-hentinya, berlapis-lapis seperti atap caranya untuk mengambil hati, tiada bedanya dengan tertaburnya panah untuk mengambil nyawa dengan kesaktian yang dikeluarkan.
12.. Yang tertarik dan terkena menjadi remuk redam tak tertolong; semuanya lebur terbakar, yang dilewati roboh berhamparan tertimpa dalam-dalam, seperti daun ditempuh angin menjadi berguguran di tanah.
13.. Sebaliknya, tanda-tanda manusia yang benar-benar sudah sempurna ialah seperti diikuti angin, kemana saja dianut dan diikuti, tidak bingung dan bimbang ke mana yang dituju. Semua orang akan terlimpahi budinya yang luhur.
14.. Tanda keluhuran dan kesaktian yang sebenarnya dari manusia yang pandai dan berbudi baik ialah watak dan perbuatannya yang luhur, sebab akhirnya itulah yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dan meliputi segala-galanya.
15. Bila telah dapat menjabarkan dan menyebarluaskan budi luhur itu, segala kejahatan yang dilewati akan hilang seluruhnya [seluruh...]
--- 63 ---
[...nya], hancur lebur tanpa bekas terkena panah ampuh, senjata cipta rasa yang luhur. Dan akhirnya dapatlah kita menjajagi hati orang yang lain.
16. Hati orang lain itu tinggal bekas kejujurannya yang dijajagi. Hasrat serta keinginan yang tidak baik telah terhenti seperti tiba-tiba menjadi mati, karena sudah dikalahkan oleh pengaruh baik. Maka maksud jahatnya tak berhasil.
17. Tetapi manusia yang telah demikian itu, bila pada dasarnya tidak berbudi, terlanjur tidak baik hatinya, bila bicaranya dianggap baik, bahkan lalu melantur seperti diulur terpuntir-puntir, karena sebenarnya hatinya khawatir.
18.. Hatinya geragapan serba takut, akhirnya diam tak dapat bicara. Walaupun demikian ia masih saja mempunyai perasaan bahwa tetap dapat naik ke hadapan Raja, tetapi tidak mengetahui bahwa telah dianggap mati.
19. Maka itu, jika berbicara, arahkan pembicaraan itu secara tepat dan teliti terus ke dalam hati nurani. Dalam mengungkapkan pikiran, usahakanlah agar pandangan muka selalu tenang dan jernih dengan memperhatikan isi hati yang diajak bicara.
20. Siapa yang ingin dapat memikat perhatian, kata-katanya harus lembut, memperhatikan waktu serta suasana menurut keadaan dan cara setempat. Jika bicara dengan petani, gunakanlah tata cara yang berlaku di desa.
21. Yang menjadi keunggulan para cerdik pandai ialah, di mana saja tidak lupa mengadakan perkiraan, segala sesuatu selalu diperkirakan menurut bobotnya. Jika orang lain pengetahuannya masih agak rendah, tanggapilah menurut tingkat pengetahuannya, jangan lebih.
22. Dan bila bicara dengan petani, bicaralah tentang tanaman dan tetumbuhan beserta peralatan kerjanya, seperti waluku (bajak) dan garu (sisir tanah). Maka itu orang yang berolah budi, ambillah sebagai teladan isi buku Nitisastra.
23. Ikutilah isi buku Nitisastra seperti yang tercantum di dalam [dalam...]
--- 64 ---
[...nya]. Watak orang pandai bijaksana, harus dapat mengambil hati orang seluruh negara, agar dapat meresap merasuk ke dalam hati sanubari mereka.
--- 65 ---
VI.
1. Yang dalam kehidupan disebut watak luhur tiada tandingannya, ialah watak manusia yang mampu membuat hati sesama manusia menjadi tenang.
2. Sesama hamba Tuhan yang telah diciptakanNya, semuanya jangan dibeda-bedakan. Berikanlah kasih sayang kepada orang tua, kepada orang yang telah jompo tak bertenaga lagi.
3. Dan juga kepada para yatim piatu yang menderita, maupun kepada fakir miskin yang perlu ditolong, dan kepada prang-orang lain yang perlu mendapat bantuan; lakukanlah semuanya itu menurut kemampuan.
4. Kepada orang yang salah agar dapat anda berikan maaf sebesar-besarnya, maka dengan demikian anda akan memperoleh pula kesayangan sesama manusia, dan itulah sebetulnya yang merupakan inti dari bertapa yang sebenarnya.
5. Bila berbicara janganlah ramai berbicara sendiri dan terus-menerus seperti air terus mengalir. Bicara ramai seperti burung beo mengoceh, bukanlah cara berbicara yang baik. Bahkan anda dapat menjadi lupa apa sebetulnya yang mau dibicarakan karena terlalu banyak bicara.
6. Dalam keadaan demikian anda akan lupa akan inti penbicaraan dan tak merasakan apa yang telah dibicarakan; hati anda seperti tersumbat, tidak lagi dapat memperhatikan pandangan muka orang lain, menjadi terlena dan alpa dalam memawas dirinya sendiri.
7. Jika tidak dapat merasakan apa yang diucapkan, lebih baik diam saja, tetapi muka agar kelihatan memperhatikan, dan dengan muka yang tenang serta ramah anda memperlihatkan bahwa anda memahami soal yang dibicarakan.
8. Sebaliknya, kalau hanya diam terbengong-bengong dan bisu seperti tugu, mukanya cemberut dengan pandangan yang agak marah atau kesal, semuanya itu kelihatan agak sombong
--- 66 ---
dan tidak menarik hati.
9. Yang demikian itu, dimanapun dilihat, bahkan seperti mengotori mata, tidak menyenangkan hati, dan orang yang demikian itu tidak pantas bercampur dengan orang lain dalam pergaulan.
10. Orang berbicara dalam pertemuan besar, agar yang pantas dan berbobot. Setiap kata yang diucapkan agar selalu tepat; ingatlah pada ajaran para bijak dalam kesusastraan.
11. Termasuk yang disebut permata dunia itu ialah manusia yang pandai menimbang-nimbang dan mengarahkan caranya berbicara. Dan itu tentu akan terlihat pada pandangan muka
12. Pandangan muka itu menerima rasa hati, caranya berbicara berbareng dengan pandangan mata yang memperhatikan kewaspadaan dan kepandaian bahwa yang sedang berbicara mengetahui inti dasar cara mengutarakan rasa hati.
13. Maka itu sang Widhayaka dahulu, sangat pandai bijaksana, mengetahui rahasia, karena memang telah mahir mencakup segala pertanda serta kata hati manusia.
14. Sebab inti kehidupan itu ialah rasa hati; jika harus dapat dikasih sayangi oleh sesama manusia. Tetapi apa asal mula dikasih-sayangi sesama manusia itu.
15. Agar dikasihsayangi sesama manusia, mula-mula harus mengasihsayangi lebih dulu. Itulah yang menjadi sarananya; harus pandai mendekati dan bergaul baik dengan apa saja yang kedengaran dan kelihatan.
16. Itulah yang digunakan sebagai cerminnya; agar mampu menghilangkan atau menyembunyikan yang akan kelihatan pada diri sendiri dan mampu meniadakan celaan kepada sesama manusia.
17. Kesemuanya itu terapkanlah pada diri sendirinya; sebab bila dapat mawas diri, akan dapat mengetahui pula solah tingkah orang lain termasuk diri sendiri.
--- 67 ---
18. Walaupun Raja juga tidak terkecuali. Tetapi perlu diingat bahwa sang Raja itu adalah laksana cermin jagad dalam mengumpulkan serta memberikan kasih sayang kepada manusia.
19. Memang sang Raja itu disebut Raja karena telah menguasai dan merajai segala tata krama hidup, karena ialah yang dapat membuat hati manusia menjadi senang dan sejahtera.
20. Ialah yang dapat membuat seluruh negara, bahkan seluruh jagad tertarik kepadanya, ingin mengabdi kepadanya agar memperoleh kasih sayangnya. Dan akhirnya banyak sekali bahkan penuh sesak yang menghadapnya.
21. Maka itu panda-pandailah ia menentramkan segala kehendak. Itu dapat dilakukan karena mampu mendatangkan kesejahteraan negara, dan berusaha menimbulkan kesejahteraan dunia.
22. Sebab usahanya yang tekun dalam menyebar luaskan ajaran dari dahulu kala itu berhasil diikuti dan diambil sebagai teladan, karena kesemuanya itu diajarkan dengan kata-kata yang manis dan bijaksana.
23. Caranya berbicara halus, lembut, dan laras, selaras dengan keadaan, dibantu oleh keteguhan serta kesentosaan budi, dibarengi dengan hati dan cara hidup yang masih prihatin dalam keinginannya untuk meningkatkan kesejahteraan dunia.
24. Itulah Raja yang tetap mampu dan berwenang mempengaruhi, menguasai serta menentukan nasib seluruh negaranya. Wibawanya terasa dan mempengaruhi seluruh dunia.
25. Selanjutnya sang Raja bijak itu tetap kasih sayang kepada yang menderita, kepada fakir miskin, kepada anak yatim piatu, kepada yang kelaparan dan kahausan. Semuanya ditolong, dibantu, dan ditunjang agar dapat hidup selayaknya.
26. Para pencuri dan penjahat yang merupakan noda bagi negara,
--- 68 ---
diuber-uber, diserang, ditangkap, dan disingkirkan jauh-jauh. Para penipu dan pemalsu diberi hukumannya yang setimpal.
27. Selama dalam hukuman itu diusahakan agar dapat sembuh dari berbuat jahat, menjadi manusia yang setia kepadanya negara. Tetapi kalau masih belum sembuh juga dari perbuatan jahat, maka hukumannya diperberat.
28. Dalam menegakkan dan menerapkan hukum, Raja berlaku adil dan merata. Dapat diumpamakan seperti lautan api; di pelosok mana saja kejahatan akan terlihat dan mendapat hukumannya.
29. Yang dituju ialah menghukum orang yang berlaku jahat supaya tidak luput dari pidananya. Itulah yang menjadi kehendak sang Raja, agar denda dan pidana dapat diterapkan secara adil.
30. Akhirnya dapat menjadi termasyur diseluruh dunia. Ia tetap dapat menguasai seluruh negara dan bahkan seluruh dunia merasakan pengaruh dan wibawanya.
31. Ajarannya teratur dan jelas, tak ada henti-hentinya. Semua manusia dipahamkan akan soal tata krama kehidupan, dan akhirnya semuanya turut mengikuti kesopanan serta terap-sila yang diajarkan.
32. Diumpamakan seperti bersunting bunga harum; bau wanginya tersebar semerbak ke mana-mana, sekaligus memperlihatkan warnanya yang indah, tersebar di seluruh dunia laksana air penghidupan.
33. Semua yang ingin mendapat ajaran diberi penjelasan tentang seluk-beluk rahasia yang belum tetapi perlu diketahui. Dan semua bersatu padu menjaga kesejahteraan negara.
34. Sebab yang menjadi cita-cita sang Raja hanya kesejahteraan dan kebahagiaan dunia. Maka terdapat delapan hal yang kalau dipadukan secara baik, akan terpadu menjadi satu.
35. Yang digauli, diambil sebagai teladan, dan diikuti ialah wewarah dan ajaran dari Raja Sri Ramawijaya di zaman
--- 69 ---
dahulu kepada adiknya, sang Gunawan Wibisana.
36. Siang malam terus memusatkan pada kedelapan kepandaian tadi; dibicarakan dan dilatih, digumuli tanpa boleh lupa, setiap hari hanya menginginkan dan menuju ke Hastabrata (delapan kepandaian).
37. Yang pertama ialah mengambil teladan perilaku Sang Hyang Indra yang telah membentangkan dan menyebarkan tata krama kepada manusia di seluruh dunia.
38. Tindak-tanduk dan segala perbuatannya dilakukan agar dapat menjaga dan memelihara dunia dengan tujuan supaya semua manusia dapat memperoleh kehidupan dengan harta benda dan pangan yang layak secara terus-menerus.
--- 70 ---
VII.
1. Sekarang beralih kepada peri laku[14] Sanghyang Yama, dewa yang dengan teguh menyebarkan hukum denda-pidana kepada para penjahat dan penipu. Segala yang merupakan kekotoran dunia, dihukum tanpa memandang bulu.
2. Walaupun sanak saudara, jika memang penjahat, tak segan-segan menghukumnya, bila perlu hingga hukuman mati. Sehari-hari tak henti-hentinya memeriksa, meneliti serta mengadili yang bertindak salah. Mereka itu semuanya dihukum tanpa kecuali.
3. Ditempatkan di tempat pengasingan atau diusir ke mana saja, tetapi kalau tertangkap kembali dan kejahatannya berat, tak segan-segan dihukum mati. Dengan demikian maka segala perbuatan kejahatan dapat dihilangkan hingga musna[15] terkikis habis.
4. Semua kejahatan musna seperti terbakar api. Adapun perilaku yang ke tiga ialah agar berwatak seperti Sanghyang Surya yang dengan kebesaran hati memberikan tuntunan kepada hati sanubari manusia. Dapat diumpamakan sebagai menghirup air; walaupun cepat dilakukannya, tidak terasa.
5. Tidak terasa habisnya air, karena walaupun dengan cepat, melakukannya dengan tenang, dengan terarah tidak tergesa-gesa. Cara menghirupnya secara tenang dan damai. Bila ada musuh terkalahkan dalam peperangan, sebaiknya didekati.
6. Didekati dengan cara damai, diajak dan dibujuk secara lembut, supaya hatinya tidak lagi curiga. Dan dengan sopan santun yang wajar diajak berbarengan. Demikianlah cara Sanghyang Surya memimpin manusia.
7. Dan sebagai perilaku yang keempat ambillah teladan dari Sanghyang Candra. Ia selalu berusaha membuat hati orang menjadi senang secara merata pada manusia di seluruh dunia, agar mereka itu akal budinya menjadi baik.
8. Usahanya itu selalu disertai senyum-tawa, dibarengi tindak-
--- 71 ---
tanduk yang ramah-tamah, dilakukan dengan tutur kata yang lembut-manis, dan didasari budi yang halus, tak ada ubahnya dengan Sanghyang Indra dalam usahanya membuat manusia sejahtera.
9. Maka Sanghyang Candra menjadi sangat termasyur dapat membuat hati umat manusia menjadi gembira, dapat memberikan kesenangan dan kesejahteraan. Akhirnya semuanya itu membuat manusia di seluruh dunia berhati setia, tekun dalam perbuatan yang baik.
10. Yang kelima dapat disebut perilaku Sanghyang Bayu yang selalu berusaha akan kesempurnaan pengetahuan. Pengetahuan yang dapat memawas dan mengetahui semua gerak gerik serta keadaan di bumi, dapat menyelami watak dan budi orang sedunia.
11. Dapat mawas isi hati manusia, dan akhirnya dapat mengetahui dan malihat segala-galanya. Tetapi itu tidak boleh kelihatan karena bicara dan tutur bahasanya yang sangat halus, dan kelihatannya hanya pandangan mata dan tindak-tanduk yang ramah dan manis.
12. Lapang dan rela di dalam hati agar setiap hari terus-menerus dapat memberikan pertolongan kepada orang lain. Keluarnya bantuan dan pertolongan berupa harta benda dan berupa apapun terus membanjir, meluap, melimpahi manusia sedunia.
13. Hatinya selalu ria gembira tanpa marah; disindir atau dicelapun tidak merasa tersinggung; hanya selalu memberikan maaf kepada semuanya yang membuat kesalahan. Akhirnya seluruh dunia karena hatinya senang, menyayanginya dengan segala kasih mesra.
14. Yang keenam ialah perilaku Sanghyang Kuwera yang selalu mengusahakan pemberian pangan kepada seluruh rakyat dengan tujuan kesejahteraan negara; yang selalu membuat hati manusia dapat merasa senang dan bahagia, dengan tak kecewa setiap harinya.
--- 72 ---
15. Pula menjaga kekuatan dan kesentosaan, agar rakyat di seluruh negara berusaha untuk memperoleh pengetahuan tentang kenyataan hidup, mengetahui asal mula serta tujuan hidup, dan jangan hanya selalu bersenang-senang saja, sebab hidup di dunia ini tidaklah lama.
16. Akhirnya semua kesenangan itu akan hilang lenyap tanpa bekas bila tidak dipikirkan benar-benar. Karenanya Sanghyang Kuwera selalu prihatin dalam hatinya; setiap hari tiada henti-hentinya memuja dan memberikan yang serba baik.
17. Sebagai perilaku yang ke tujuh ambillah teladan pada Sanghyang Baruna yang selalu siap dengan senjata panahnya guna melenyapkan segala perbuatan jahat, untuk memusnakan semua kekotoran jagad, dan menuju kepada kesentosaan kemauan.
18. Agar tidak ada lagi kesukaran dan bahaya; yang serba sulit dan rumit menjadi mudah. Dan bila bicara dengan para cerdik pandai, segala yang masih membingungkan hatinya, janganlah ragu dan malu menyerahkannya kepada ahli yang mengetahuinya.
19. Agar tak henti-hentinya mengumpulkan segala sesuatu yang menjadi kepandaian manusia. Walaupun yang tidak mengarah kepada kesejahteraan dunia, itupun perlu dikumpulkan agar dapat diketahui dan dibuat cermin. Akhirnya Hastabratalah yang harus selalu dituju.
20. Adapun perilaku yang kedelapan ialah watak Sanghyang Brahma yang selalu berusaha membakar melenyapkan musuh, hingga tertumpas habis. Yang tetap melawan, dihabiskan, seperti harimau memangsa daging.
21. Api pembasmi kejahatan menyala-nyala tinggi merusak segala yang jahat dan kotor. Dalam memperhatikan beban manusia sedunia itu usahanya dibantu dengan doa dan restu; dan karena ingin menjaga keamanan dunia, maka segalanya itu diusahakan dengan sekuat tenaga.
--- 73 ---
22. Kekuatan tenaga itu dibarengi keteguhan dan kesentosaan hati. Tiada henti-hentinya usaha itu agar mencakup semua umat manusia tanpa kecuali sedikitpun. Usahanya menuju kepada kesejahteraan dunia, tak henti-hentinya dilakukan siang malam.
--- 74 ---
VIII.
1. Selesai sudah uraian dan penjelasan tentang Hastabrata, kedelapan watak dan perilaku. Karena itu janganlah sampai melupakan teladan yang disebut sebagai perumpamaan dalam buku Nitisruti ini; ambillah inti dan makna yang terkandung di dalamnya.
2. Agar mengetahui sekedar makna dan intinya, apalagi sebagai orang yang menganut agama Islam, agama luhur yang telah diturunkan Yang Maha Esa. Bahkan orang bukan penganut Agama Islam pun dapat mengambilnya sebagai cermin.
3. Mereka pun mengambil teladan dari kedelapan tata perilaku seperti telah diutarakan di depan. Maka itu janganlah sampai kalah dengan yang bukan penganut Agama Islam dalam mengambil teladan dari Hastabrata itu.
4. Sebab Agama Islam yang sangat luhur tiada bandingannya itu, dalam usaha mengumpulkan ilmu dan pengetahuan yang menuju kepada kesejahteraan lahir dan batin, memang benar luhur tiada taranya.
5. Kembali kepada bagaimana sebaiknya tugas serta perilaku para manggala sebagai pandega atau pemimpin dalam peperangan dan sebagai demikian selalu berusaha agar dapat memenangkan perang.
6. Tiada henti-hentinya dalam melatih diri dengan sesungguh hati, memikirkan siasat peperangan, karena hal-hal itu telah tersebut dalam luhurnya bertapa brata bagi seorang panglima perang.
7. Karena itu agar benar-benar lapang dan lega di dalam hati, rela gugur dalam peperangan sampai tetes darah yang penghabisan, dengan tak menoleh kepada istri, anak, dan saudara dan hanya bertempur sampai gugurlah yang dipandang.
8. Maka itu bertapanya seorang prajurit yang unggul melebihi bertapanya seorang pertapa atau pandita yang ada di gunung atau gua sepi. Bertapa brata menghadapi kesukaran dan
--- 75 ---
bahaya di lereng gunung besi dan menjadi harapan memenangkan perang, sungguh lebih unggul daripada di lereng gunung sepi.
9. Ditambah lagi, bila memimpin perang untuk mencari kemenangan, harus benar-benar waspada dalam tindak-tanduknya, harus ada di baris depan agar memperoleh jalan keunggulan dan kemasyuran.
10. Pertama-tama harus mengetahui segala seluk beluk jalan dan siasat peperangan, disertai hati yang kuat dan setia, tetap teguh tanpa goyah, mantap sampai mati.
11. Dalam peperangan tidak boleh bimbang hati; itu akan membawa malapetaka. Benar-benar akan besar hasilnya bila tetap mantap dalam hati, hanya memusatkan diri beserta pikirannya kepada perang.
12. Walaupun ada beribu-ribu panah, bila budinya bersih, dan bertujuan baik, maka walaupun petaka barisannya telah hancur, benderanya sendiri tan akan sobek, ikut terjaga oleh Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu.
13. Permulaan sampai bertempur dalam peperangan, jangan sampai mendahului. Meskipun menyerang lebih dahulu, itu hanya kalau sudah terpaksa oleh keadaan dan keharusan, melawan pun tidak jelek.
14. Tindak-tanduk di depan musuh, janganlah berteriak dengan bengis, menantang dengan suara lantang, supaya terdengar oleh Raja dan mendapat pujiannya.
15. Perbuatan yang demikian itu merupakan solah-tingkah yang tidak layak. Adapun tingkah laku prajurit, apalagi para pemimpin, agar selalu berpendirian dan bersikap utama; yang utama dalam peperangan.
16. Panglima memiliki dan menggunakan senjata yang ampuh, dalam barisan waktu maju bertempur memberikan dorongan keberanian, serta selalu membantu beban yang ada di depan, menjaga jangan sampai kalah perang.
--- 76 ---
17. Sewaktu bertempur agar selalu berusaha menghilangkan kesulitan dengan tak menghiraukan tersebarnya musuh. Demikian seharusnya tindakan Raja maupun Panglima Perang, tidak canggung menata barisannya, dalam usaha memenangkan peperangan.
18. Para menteri ditata tempatnya di belakang, tidak terlalu banyak yang dibebani pimpinan perang. Hanya yang ikut menyertai Raja yang harus siap sedia, dengan hati yang mantap, berani, dan hati-hati.
19. Dan sang Raja mengawasi para prajurit yang bertempur; bila ada yang kalah dan terdesak mundur dari pertempuran, Raja segera memerintahkan wadyabala untuk bersiap siaga.
20. Dan prajurit berkuda disuruh membantu yang terdesak mundur dan mengurus yang hingga gugur dalam pertempuran. Bila demikian halnya, itulah tindakan yang sebenarnya dari Raja utama.
21. Ia tetap mantap bertapa di atas puncak gunung senjata yang sebenarnya, karena kasih sayangnya terhadap sesama hidup, tidak ragu atau takut mati gugur, membela dengan mantap perjuangannya.
22. Dan lagi telah mengetahui asal dan tujuan hidup yang sejati; tak ada sakit, tak ada mati, yang ada hanya hidup yang langgeng tidak berubah; langgeng tidak berubah;[16] langgeng manunggal dengan Yang Maha Agung.
23. Maka walaupun keadaan tubuh sebetulnya sudah diketahui bahwa sakit, bila hati tidak menghiraukannya, hal itu menghilangkan rasa khawatir, tidak ragu menceburkan diri dalam pertempuran.
24. Dan tajamnya senjata tidak diperhitungkan, jangan merasa bahwa dapat gugur; percayalah kepada Yang Maha Agung. Benar-benar lepasnya panah musuh tidak akan sampai tempat yang dituju.
25. Walaupun mengenai tubuh, tidak akan membawa luka. Dan
--- 77 ---
yang ingin membunuh tidak mampu mendatangkan maut. Ini memang sesuai dengan kata-kata warisan dari zaman dahulu, suatu teladan sudah terjadi.
26. Siapa yang dalam hatinya ingin membuat mati, tentu akan ditebus juga dengan mati; siapa yang memberikan sakit, aka terkena sakit juga. Segala tindak-tanduk dalam kehidupan, tentu akan mendapat pembalasannya.
27. Adapun tindak nista, madya dan utama pada mereka yang telah diangkat sebagai mantri, bila yang dibicarakan itu di zaman dahulu, maka yang dikatakan kenistaan mantri itu sebagai berikut.
28 Bila terjun dalam peperangan mati lebih dahulu, sedangkan bala tentaranya masih tertinggal dalam pertempuran. Madyanya para mantri ialah bila gugurnya belakangan.
29. Yang utama ialah bila gugur sedang bertempur, seluruh bala tentaranya gugur sampai habis tertumpas; demikianlah bila di zaman dahulu. Tetapi di zaman sekarang para mantri tidak terceritakan.
30. Maka itu caranya zaman dahulu, banyak para mantri yang maju ke peperangan dan gugur lebih dahulu. Adapun yang demikian itu tentu sukar untuk diambil sebagai teladan.
31. Sebab wadyabalanya lalu seperti anak ayam kebingungan ditinggal mati induknya, bingung tak tahu ke mana yang harus di tuju, seperti orang tak tahu arah dan menyerah, hanya menunggu perintah apa yang harus diperbuat.
32. Mereka tanpa daya lagi berusaha menggunakan pikiran dan nalar, dan akhirnya sangat mengecewakan. Banyak ajaran dari zaman lampau termuat dalam tulisan yang mengajarkan agar dapat unggul melebihi sesama hidup.
33. Soal nista, madya, dan utama para mantri seperti tersebut di depan, yang menulis ini dengan alasan tidak mengetahui, tidak menjangkau ke arah diperolehnya keunggulan.
34. Sekarang bila kita ingin diambil sebagai teladan di kemudian
--- 78 ---
hari, perlu mengetahui pula nista-utamanya hidup ini; pula perlu mengetahui asal-mula hidup, agar selamat sejahtera yang diperoleh kemudian.
35. Mangetahui seluk-beluk kitab-kitab ajaran, dan juga serat Nitisruti. Walaupun demikian, tentunya juga masih ditertawakan orang karena banyaknya serta bermacam-macamnya manusia itu.
36. Memang benar-benar sangat sulit untuk dapat membuka hati orang sedunia, sulit untuk mendapat persetujuan mereka semua, karena diri sendiripun belum memahami sepenuhnya berhubung artinya yang sangat rumit.
37. Karena itu hingga sekian saja ajaran ini. Yang ingin mengetahui segala solah-tingkah semuanya yang hidup, mulai dari yang menipu, yang korup, yang suka mabuk-mabuk, sungguh tidak mudah.
38. Akhirnya yang ditemui dan diketahui hanya solah-tingkah yang tidak sebenarnya, karena tersesat oleh perbuatan-perbuatan manusia mengenai caranya menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
39. Karena tidak mengetahui apa yang wajib diceritakan dan dilakukan, akhirnya karena hati menjadi nelangsa dan prihatin, lalu hanya pasrah menyerah dengan berharap-harap tiada habisnya sampai akhir zaman.
40. Selesailah uraian sebagai ajaran yang kiranya layak dipakai sebagai teladan, yang dinamakan Nitisruti ini. Ditandai hari Jum'at, tanggal tujuh, bulan Julkaidah, tahun Jimakir, 1850.
--- 79 ---
Serat Nitisruti
--- 80 ---
[...]
--- 81 ---
Serat Nitisruti
Serat Nitisruti punika anggitanipun Pangéran Karanggayam, pujangga ing jaman Pajang, kalebet Walinuba, tegesipun Wali anakan. Serat wau isi wulang warna-warni, inggih isi kawruh lahir batos, ingkang kanggé ing jaman samanten, ananging saking pamanggih kula taksih kathah sanget ingkang kénging katulad tumrap ing jaman samangké, sanadyan boten saged angepleki kaliyan tujuning jaman kamajengan sapunika. Ing pangangkah amung pados ancer-ancer, bilih punika delesipun kawruh Jawi, basa Jawi, raos Jawi, ingkang taksih lugu dèrèng kawoworan kawruh liyan, kawruh manca, destun namung kawoworan kawruh Ngarab sakedhik, déning katarik saking agaminipun sampun agami Islam, nanging santunipun saking agami Buda, dèrèng patos dangu, dados taksih kathah Jawinipun, awit Serat Nitisruti wau panganggitipun kala tahun Wawu angka: 1513, sinangkalan: Bahni Maha asta candra, dados dumuginipun tahun Jimakir: 1850: punika laminipun sampun: 347 tahun.
Déné serat Nitisruti wau babonipun taksih kathah tembungipun Kawi, sarta sampun dipun jarwani, nanging jarwa kala samanten, dipun suraos kaliyan gathukipun tembung sapunika meksa taksih angèl. ing mangké sasaged-saged kula jarwakaken jarwa sapunika, saha lejeng kula sekaraken Macapat, supados gampil anggènipun nyuraos. Awit owel sanget manawi delesing kawruh Jawi ingkang alus sarta rusit wau, boten kasumerepan iang[17] kathah.[18]
Boten langkung saking panuwun kula bilih wonten galap gansuling ukara, para sarjana kaparenga paring pangaksama.
Déné babaranipun kados ing ngandhap punika:
--- 83 ---
Lihat teks di: Sêrat Nitisruti
Tamat
1 | tenggang. (kembali) |
2 | kelewat. (kembali) |
3 | yang unggul dan telah memiliki. (kembali) |
4 | punggung. (kembali) |
5 | Pertapa. (kembali) |
6 | Solah tingkah. (kembali) |
7 | goa. (kembali) |
8 | Solah. (kembali) |
9 | peribahasa. (kembali) |
10 | Peribahasanya. (kembali) |
11 | menyenangkan. (kembali) |
12 | bau. (kembali) |
13 | solah. (kembali) |
14 | perilaku. (kembali) |
15 | musnah (dan di tempat lain). (kembali) |
16 | Teks alsi frase ini ditulis dua kali. (kembali) |
17 | tiyang. (kembali) |
18 | § Asamanipun ingkang jarwakaken Serat Nitisruti Kawi dados Nitisruti punika kawrat in sandiasma, i.p aksara wiwitan 14 pada Dhandhanggula pupuh kapisan. Ungelipun: MANGUNWIJAYA ING WANAGIRI SURAKARTA. K. (kembali) |