Taal en letterkunde - bahasa dan sastra - itulah subyek riset yang banyak digandrungi para sarjana Eropa yang berdinas di Jawa pada abad XIX dan awal abad XX. Para penginjil awal yang tiba di Jawa, begitu datang, mereka sudah langsung bergelut dengan berderet-deret buku bahan dakwah yang perlu diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa Nusantara, termasuk bahasa Jawa. Di belakang Pemerintah Belanda, selain ada sekumpulan penekun taal en letterkunde, pada sepanjang abad XIX sudah terdapat sekolah untuk menggembleng pejabat pemerintah dalam soal taal en letterkunde Jawa berikut sokongan dana risetnya.
Dalam hal riset, pendekatan yang diadopsi para sarjana-Eropa pionir tersebut amat dipengaruhi oleh gairah pencapaian intelektual Eropa kala itu, terutama menyangkut ilmu alam, yakni: menerapkan analisis ilmiah pada segala disiplin, tak terkecuali kajian bahasa dan sastra. Segera setelah diterapkan pada kajian taal en letterkunde Jawa, pendekatan ilmiah tersebut tak pelak menyedot perhatian kalangan intelektual Jawa abad XIX.
Akan halnya para filsuf besar Eropa, para intelektual "sarjana-sujana" Jawa itu menempatkan pendekatan ilmiah sebagai sarana untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang masyarakat dan, seperti laiknya periode-periode sejarah Jawa, mengadopsinya untuk lebih menumbuhkembangkan budaya mereka sendiri. Sebukti kesaksian bagi kesinambungan dan perubahan (continuity and change) dalam sejarah Jawa.
Para sarjana-sujana mengadopsi metode dan teknik ilmiah modern bukan saja untuk menganalisis, tapi juga untuk mengartikulasikan basa (bahasa Jawa), paramasastra (tata-bahasa), carakan (aksara) yang, pada sekujur abad XIX, melahirkan langgam yang menghiasi majalah, surat kabar, hingga, pada pengujung abad XIX, cetakan-cetakan.
Sastra Lestari telah mengidentifikasi sejumlah karya mustahak yang dipandang cukup menggambarkan ikhtiar sarjana-sujana abad XIX mengembangkan kajian paramasastra Jawa; dan berikut ini, tiga karya di antaranya (telah dialihaksarakan dan didigitalkan) dapat diakses: