Sastra Sriwedari
1. | Pusaka Jawi, Java Instituut, 1926-05, #340. Kategori: Arsip dan Sejarah > Galeri. |
2. | Pusaka Jawi, Java Instituut, 1926-05, #340. Kategori: Koran, Majalah dan Jurnal > Pusaka Jawi. |
» | Sastra Sriwedari. Kategori: Bahasa dan Budaya > Pengetahuan Bahasa. |
Pencarian Teks
Lingkup pencarian: teks dan catatan-kakinya. Teks pencarian: 2-24 karakter. Filter pencarian: huruf besar/kecil, diakritik serta pungtuasi diabaikan; karakter [?] dapat digunakan sebagai pengganti zero atau satu huruf sembarang; simbol wildcard [*] dapat digunakan sebagai pengganti zero atau sejumlah karakter termasuk spasi; mengakomodasi variasi ejaan, antara lain [dj : j, tj : c, j : y, oe : u, d : dh, t : th].
- Yasri menyajikan salinan lengkap (alih-aksara dan alih-bahasa) dari "Pedoman Penulisan Aksara Jawa" yang terbit di majalah Pusaka Jawi, Mei 1926.
- Dikenal sebagai "Sastra Sriwedari", pedoman atau standardisasi ini disepakati jauh sebelum Indonesia merdeka; adalah capaian luar biasa karena mampu menyeragamkan banyak langgam penulisan aksara Jawa yang telah eksis sekian abad sebelumnya.
- "Sastra Sriwedari" merupakan hasil keputusan Rapat Komisi Kesusasteraan 29 Oktober dan 31 Desember 1922.
- Komisi dipimpin oleh seorang aktivis-nasionalis R. M. A. Wuryaningrat.
Aksara Jawa, penulisannya telah disepakati jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni sejak 1924; dengan catatan, sebagian kecil isu masih menjadi pertimbangan. Kesepakatan itu merupakan hasil kerja dari sebuah komisi bentukan suatu kongres yang digelar dua tahun sebelumnya, Oktober dan Desember 1922, di Sriwedari, Surakarta.[1]
Kongres 1922 dihadiri beberapa perserikatan. Ada perserikatan guru, seperti: Normaalschool dan Kweekschool, pejabat pemerintah, Balai Pustaka, serta perwakilan empat keraton Mataram (Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, Pakualaman). Ada pula perserikatan bahasa Jawa, seperti: Nitisastra, Kridhabasa, Kridhasastra, Garapbon, Mardibasa, dan Paheman Radya Pustaka. Kesepakatan tentang wawaton (pedoman) bagi penulisan aksara Jawa inilah yang belakangan dikenal sebagai "Sastra Sriwedari".
Sastra Sriwedari adalah prakarsa sekaligus capaian yang luar biasa. Bayangkan, sejak dulu, yang namanya keseragaman dalam penulisan aksara Jawa, itu belum pernah ada. Apalagi, ketidakseragaman penulisan aksara Jawa di keempat keraton Mataram justru dianggap (baca: diagung-agungkan) sebagai ikon adiluhung serta unikum atau ciri khas masing-masing sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan. Sedemikian khasnya, unikum penulisan aksara Jawa itu sampai bisa menjadi pengidentifikasi tarikh dan/atau tempat asal naskah atau manuskrip anonim kuno. Pendek kata, standardisasi yang harus dipatuhi oleh para penulis Jawa memang belum ada hingga awal abad XX. Pada awal abad XX-lah kesadaran bersama penerapan standardisasi penulisan aksara Jawa tumbuh seiring dengan tumbuhnya gagasan memajukan bangsa dan nasionalisme rakyat Hindia-Belanda: sebuah peran krusial yang dimainkan oleh budaya.[2]
Komisi Kongres 1922 diketuai Wuryaningrat, seorang aktivis-nasionalis yang gigih putra (tertua dari istri pertama) Patih Sasradiningrat IV yang diambil menantu oleh Pakubuwana X. Komisi kongres dikenal pula sebagai "Komisi 10 Golongan" atau "Komisi Besar" (Komisi Agêng). Wuryaningrat adalah sosok penting dari awal-awal pergerakan nasionalisme Indonesia. Cucu Pakubuwana IX itu pernah menjabat sebagai Ketua Boedi Oetomo beberapa periode (1916-21, 1922-25 dan 1933-35) serta Ketua Partai Indonesia Raya setelah dijabat Dokter Soetomo (1935–38). Luar biasa aktifnya, bangsawan bergelar Raden Mas Arya yang pejabat tinggi Kasunanan berpangkat Bupati Nayaka itu pada saat kongres pun masih merangkap sebagai pimpinan dari sejumlah organisasi lainnya, seperti Radya Pustaka dan Narpa Wandawa.[3]
Pada era Wuryaningrat-lah kajian bahasa dan budaya Jawa berkembang pesat, terutama melalui organisasi atau institusi yang dipimpinnya itu. Satu capaian yang paling menonjol adalah Sastra Sriwedari. Pada pertemuan (vergadering) kongres Desember 1929, lebih dari 200 orang hadir berpartisipasi.[4] Pada Komisi Besar itu, anggota yang memiliki hak suara tidak sedikit yang kelak namanya kita kenal sebagai pakar-pakar penting dalam kajian bahasa dan budaya kontemporer di seluruh Jawa.[5]
Penyusunan Sastra Sriwedari berlangsung setahun lebih. Setelah vergadering Komisi Besar yang berlangsung pada 29 Oktober dan 31 Desember 1922, dibentuklah "Komisi Kecil" (Komisi Alit) - foto para anggotanya ditampilkan di bawah (Komisi 5 Golongan). Komisi Kecil ditugasi menyusun risalah atau notulensi, termasuk keputusan-keputusan yang telah diketokpalukan. Risalah itu lantas dibagikan ke perwakilan-perwakilan di Komisi Besar untuk dimintakan koreksi, tinjauan, dan/atau persetujuan atas kontennya. Pada April 1923, Komisi Kecil meluncurkan pedoman versi perdana. Setelah komentar dan masukan atas versi perdana diterima, diluncurkanlah versi kedua pada September 1923. Versi kedua terdiri dari 16 keputusan atau pasal yang mengetengahkan tata-cara penulisan aksara Jawa.
Draf dari Komisi Kecil lalu mendapat tinjauan atau koreksi dari beberapa institusi. Departemen Pendidikan dan Balai Pustaka, misalnya, mengajukan tinjauannya pada sekitar lima bulan kemudian, yakni pada Maret 1924. Kasunanan dan Radya Pustaka pun menyusul tak lama kemudian. Pada masing-masing tinjauan masih tersua beberapa hal yang belum disetujui. Kendati demikian, setelah Maret 1924, dalam risalah tentang kegiatan-kegiatan Komisi itu tidak ada entri lanjutan. Bukti bahwa versi baru telah didistribusikan kembali pada saat itu pun belum ditemukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hasil selanjutnya, selain juga analisis terkait ajuan pendapat dari masing-masing institusi dan perkumpulan kala itu.
Juni 1925, seorang anggota Komisi Besar, Mas Sastrawirya (PGB), mengangkat isu mengenai pedoman penulisan aksara Jawa. Sastrawirya mengeluhkan belum kunjung diumumkannya kerja kolaboratif yang melibatkan pemerintah, keraton-keraton, dan sekian perkumpulan itu. "Biarpun toh masih seadanya, hasil kongres harus segera diumumkan karena itu akan menjadi sempurna dengan adanya perubahan," demikian tulis Sastrawirya di majalah Pusaka Jawi pada Juni 1925 dalam artikelnya, "Basa tuwin Kasusastran Jawi". Asalkan rajin saban tahun menggelar kongres bahasa dan sastra Jawa, Sastrawirya meyakini, lama-kelamaan hasilnya akan sempurna dan keputusan kongres pun pasti akan kian bagus.[7]
Setahun kemudian (Mei 1926), majalah yang sama, Pusaka Jawi, memublikasikan pedoman penulisan aksara Jawa, lengkap dengan 17 keputusan (pasal)-nya: Karampungan Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra Jawi, miturut Putusan Parêpatan Kumisi Kasusastran Marêngi kaping 29 Oktobêr 1922 sarta 31 Dhesèmbêr 1922 (Hasil Keputusan Pembahasan Pedoman Penulisan Kata Jawa Menggunakan Aksara Jawa, menurut Keputusan Rapat Komisi Kesusasteraan pada 29 Oktober dan 31 Desember 1922).[8] Boleh jadi terpicu oleh artikel Sastrawirya, yang jelas, akhirnya pemerintah menerbitkan pedoman itu pada tahun yang sama.[9]
Yasri menyajikan salinan lengkap (alih-aksara dan alih-bahasa) dari edisi pedoman penulisan aksara Jawa yang terbit di Pusaka Jawi. Pertimbangan Yasri adalah, pada era masa kini, pedoman tersebut ternyata tak berkurang arti pentingnya, terutama sebagai sinambungan gerak dari budaya masa lalu yang mengilhami penyusunan awalnya. Meminjam harapan Mas Sastrawirya, semoga salinan berikut bisa menuai banyak respons berupa analisis dan kajian lebih lanjut. Tujuannya, agar kawruh tata-cara penulisan aksara Jawa mendapatkan tempat sepantasnya sebagai bagian dari warisan budaya Jawa, Indonesia, bahkan dunia.
Karampungan Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra Jawi, miturut Putusan Parêpatan Kumisi Kasusastran marêngi kaping 29 Oktobêr 1922 sarta 31 Dhesèmbêr 1922.
Hasil Keputusan Pembahasan Pedoman Penulisan Kata Jawa Menggunakan Aksara Jawa, menurut Keputusan Rapat Komisi Kesusasteraan pada tanggal 29 Oktober 1922 dan 31 Desembêr 1922.
I. Têmbung Lingga
I. Kata Dasar
Wontên ingkang nyêbal: tnV [tannya].
Dene: rayu [rahayu]. Sanadyan sanès têmbung lingga ugi botên kasêrat: rhayu [rahhayu]. Awit saking têmbung lingga: ayu [hayu], angsal atêr-atêr: r [ra].[10]
Ada juga yang menyimpang: tnV [tannya].
Adapun: rayu [rahayu]. Meskipun bukan kata dasar juga tidak ditulis: rhayu [rahhayu]. Karena berasal dari kata: ayu [hayu], mendapat awalan: r [ra].
Ha. | cemPurit\ [cêmpurit], temBg [têmbaga], semBf [sêmbada], X=gn [lênggana], jemPn [jêmpana]. |
Na. | lmPit [lampita], s=sr [sangsara]. |
Ha. | cemPurit\ [cêmpurit], temBg [têmbaga], semBf [sêmbada], X=gn [lênggana], jemPn [jêmpana]. |
Na. | lmPit [lampita], s=sr [sangsara]. |
II. Têmbung andhahan ingkang mawi atêr-atêr
II. Kata Jadian yang menggunakan awalan
Ha. | Manawi purwaning lingga luluh, atêr-atêripun anuswara botên kasêrat ngangge: a [ha]. Kados ta: ztg\ [ngatag], nnT= [nantang], vmBe/ [nyambêr], m]nt [mranata]. Manawi wontên prêlunipun kenging kasêrat: aztg\ [angatag], annT= [anantang], avmBe/ [anyambêr], am]nt [amranata]. |
Na. | Manawi purwaning lingga botên luluh, kados ta: anFf/ [andadar], avJketet\ [anjakêtêt], anDede/ [andhêdhêr], a=giqi= [anggithing], amB|w= [ambuwang], punika botên kenging kasêrat: ff/ [dadar], jketet\ [jakêtêt], dede/ [dhêdhêr], giqi= [githing], buw= [buwang]. |
Ha. | Apabila di awal kata dasar luluh, awalan bunyi sengaunya tidak ditulis menggunakan: a [ha]. Misalnya: ztg\ [ngatag], nnT= [nantang], vmBe/ [nyambêr], m]nt [mranata]. Apabila diperlukan boleh ditulis: aztg\ [angatag], annT= [anantang], avmBe/ [anyambêr], am]nt [amranata]. |
Na. | Apabila pada awal kata dasar tidak luluh, misalnya: anFf/ [andadar], avJketet\ [anjakêtêt], anDede/ [andhêdhêr], a=giqi= [anggithing], amB|w= [ambuwang], tidak boleh ditulis: ff/ [dadar], jketet\ [jakêtêt], dede/ [dhêdhêr], giqi= [githing], buw= [buwang]. |
Têmbung bawa: k [ka], ingkang atêr-atêripun botên luluh kalihan purwaning lingga, atêr-atêripun: k [ka], kêdah kapêpêt, kados ta: keffk\ [kêdadak].
Kata bawa: k [ka], yang awalannya tidak luluh dengan awal kata dasar, awalan: k [ka], harus dipepet, misalnya: keffk\ [kêdadak].
III. Têmbung andhahan ingkang ngangge sêsêlan
III. Kata Jadian setelah mendapat sisipan
Sêsêlan: r [ra], l [la]. Kasêrat miturut pangrimbagipun sêsêlan, kados ta: p}nÒ|l\ [prêntul], jLerit\ [jlêrit], gLex= [glêrêng], botên kasêrat: pxnÒ|l\ [parêntul], jXrit\ [jalêrit], gXx= [galêrêng]. Manawi wontên prêlunipun kenging kasêrat: pxnÒ|l\ [parêntul], jXrit\ [jalêrit], gXx= [galêrêng].
Sisipan: r [ra], l [la]. Ditulis sesuai kata bentukan setelah mendapat sisipan, misalnya: p}nÒ|l\ [prêntul], jLerit\ [jlêrit], gLex= [glêrêng], tidak ditulis: pxnÒ|l\ [parêntul], jXrit\ [jalêrit], gXx= [galêrêng]. Jika diperlukan boleh ditulis: pxnÒ|l\ [parêntul], jXrit\ [jalêrit], gXx= [galêrêng].
IV. Têmbung andhahan ingkang mawi panambang
IV. Kata Jadian setelah mendapat akhiran
Ha. | Manawi wontên sawingkingipun wanda mênga nglêgêna, kasêrat têtêp: a [a], kados ta: bisa [bisaa]. |
Na. | Ewah dados: y [ya], manawi sumambêt wanda mênga kanthi: wulu, utawi: taling, samantên punika manawi wanda wau sanès: y [ya], kados ta: wniy [waniya], [d[dy [dhedheya], nanging: p]iyyia [priyayia], kp]i[ya [kapriyea], botên kasêrat: p]iyyiy [priyayiya], kp]i[yy [kapriyeya]. |
Ca. | Ewah dados: w [wa], manawi sumambêt ing wanda mênga kanthi: suku, utawi: taling tarung, samantên punika bilih wanda wau sanès: w [wa], kados ta: niruw [niruwa], [bo[dow [bodhowa], nanging: nwua [nawua], cu[woa [cuwoa], botên kasêrat: nwuw [nawuwa], cu[wow [cuwowa]. |
Ha. | Apabila terletak dibelakang suku kata terbuka, tetap ditulis: a [a], misalnya: bisa [bisaa]. |
Na. | Berubah menjadi: y [ya], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka: wulu [u], atau: taling [i], sedangkan apabila suku kata tersebut bukan: y [ya], misalnya: wniy [waniya], [d[dy [dhedheya], tetapi: p]iyyia [priyayia], kp]i[ya [kapriyea], tidak ditulis: p]iyyiy [priyayiya], kp]i[yy [kapriyeya]. |
Ca. | Berubah menjadi: w [wa], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka: suku [u], atau: taling tarung [o], sedangkan apabila bukan suku kata: w [wa], misalnya: niruw [niruwa], [bo[dow [bodhowa], tetapi: nwua [nawua], cu[woa [cuwoa], tidak ditulis: nwuw [nawuwa], cu[wow [cuwowa]. |
alu [alu] - alu[n [alune], botên alu[nN [alunne].
Ha. | Manawi tumrap ing wanda mênga, ingkang mawi sandhangan: wulu, utawi: taling, măngka botên luluh, purwaning panambang malih dados: y [ya], kados ta: ffi [dadi] - kffiyn\ [kadadiyan]. g[d [gadhe] - pg[dyn\ [pagadheyan]. Manawi tumrap ing wanda mênga, ingkang mawi sandhangan: suku, utawi: taling tarung, măngka botên luluh, purwaning panambang malih dados: w [wa], kados ta: lku [laku] - klkuwn\ [kalakuwan]. j[go [jago] - j[gown\ [jagowan] |
Na. | Wontên têmbung sawatawis ingkang wandanipun wêkasan kadunungan wignyan, nyêbal saking waton IV.1. kados ta: weruh [wêruh] - kruwn\ [karuwan]. klih [kalih] - kliyn\ [kaliyan]. plih [palih] - pliyn\ [paliyan] (sadhèrèk nunggil suson). Nanging: plihan\ [palihan] (krama), ngokonipun: p[ron\ [paron]. |
Ca. | Têmbung-têmbung ing adêg-adêg: Na, nginggil punika, manawi angsal panambang: [a [e], wignyanipun tarkadhang wangsul, kados ta: kruwn\ [karuwan] - kruha[nN [karuhhane]. pliyn\ [paliyan] - pliha[nN [palihhane] |
Ha. | Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, yang menggunakan sandangan: wulu [i], atau: taling [e], tidak luluh, awal akhiran berubah menjadi: y [ya], misalnya: ffi [dadi] - kffiyn\ [kadadiyan]. g[d [gadhe] - pg[dyn\ [pagadheyan]. Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, yang menggunakan sandangan: suku [u], atau: taling tarung [o], tidak luluh, awal akhiran berubah menjadi: w [wa], kados ta: lku [laku] - klkuwn\ [kalakuwan]. j[go [jago] - j[gown\ [jagowan] |
Na. | Ada beberapa kata yang pada akhir suku katanya diberi wignyan [h], menyimpang dari aturan IV. 1. misalnya: weruh [wêruh] - kruwn\ [karuwan]. klih [kalih] - kliyn\ [kaliyan]. plih [palih] - pliyn\ [paliyan] (saudara sepersusuan). Tetapi: plihan\ [palihan] (krama), sedangkan ngoko: p[ron\ [paron]. |
Ca. | Kata-kata pada bagian: Na, di atas, apabila mendapatkan akhiran: [a [e], maka wignyan [h] kadang-kadang bisa muncul lagi, misalnya: kruwn\ [karuwan] - kruha[nN [karuhhane]. pliyn\ [paliyan] - pliha[nN [palihhane] |
Ha. | Manawi sumambêt ing wanda mênga, wanda wau kasigêgakên: k [ka] rumiyin, panambangipun lastantun: a[k [ake], bilih wanda wau kadunungan: wulu, malih dados: taling, manawi kadunungan: suku, dados: taling tarung, kados ta: tp [tapa] - npkH[k [napakake]. lli [lali] - zL[lkH[k [nglalèkake]. ge[d [gêdhe] - a=ge[dkH[k [anggêdhèkake]. aju [aju] - z[jokH[k [ngajokake]. [bo[do [bodho] - a[mBo[dokH[k [ambodhokake]. |
Na. | Têmbung ingkang wandanipun sigêg: n [na], manawi angsal panambang: a[k [ake], wontên ingkang sêsigêgipun: n [na], punika malih dados: k [ka], salajêngipun panambang: a[k [ake], ewah dados: k[k [kake], kados ta: pkn\ [pakan] - mkkK[k [makakkake]. [a[won\ [ewon] - k[a[wokK[k [kaewokkake]. |
Ha. | Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, suku kata tersebut ditutup dengan: k [ka] terlebih dahulu, sedangkan akhiran tetap: a[k [ake], apabila akhir suku kata tersebut: wulu [i], berubah menjadi: taling [e], apabila akhir suku kata: suku [u], berubah menjadi: taling tarung [o], misalnya: tp [tapa] - npkH[k [napakake]. lli [lali] - zL[lkH[k [nglalèkake]. ge[d [gêdhe] - a=ge[dkH[k [anggêdhèkake]. aju [aju] - z[jokH[k [ngajokake]. [bo[do [bodho] - a[mBo[dokH[k [ambodhokake]. |
Na. | Kata yang bersuku kata akhir konsonan mati: n [na], apabila mendapat akhiran: a[k [ake], ada yang konsonan mati: n [na], berubah menjadi: k [ka], kemudian akhiran: a[k [ake], berubah menjadi: k[k [kake], misalnya: pkn\ [pakan] - mkkK[k [makakkake]. [a[won\ [ewon] - k[a[wokK[k [kaewokkake]. |
V. Dwipurwa
V. Dwipurwa (perulangan pada awal kata dasar)
VI. Dwilingga
VI. Dwilingga (kata ulang dasar)
VII. Camboran
VII. Kata Majemuk
VIII. Têmbung: ai= [ing]
VIII. Kata: ai= [ing]
IX. Gêmbung (pasangan: w [wa])
IX. Gembung (pasangan: w [wa])
X. Aksara Murda
X. Aksara Murda
XI. Aksara swara
XI. Aksara Suara
Ha. | Aksara swara: A [a], I [i], E [e], U [u], O [o], kangge nyêrati têmbung mănca, manawi sumêdya kacêthakakên. |
Na. | x [rê], kalihan X [lê], lastantun kangge ing sêsêratan. |
Ha. | Aksara suara: A [a], I [i], E [e], U [u], O [o], untuk menulis kata asing, apabila ingin ditonjolkan. |
Na. | x [rê], serta X [lê], tetap digunakan untuk penulisan. |
XII. Aksara rekan
XII. Aksara rekan
XIII. Ăngka Jawi
XIII. Angka Jawa
XIV. Ăngka Rum
XIV. Angka Romawi
XV. Aksara Latin dalah angkanipun
XV. Aksara Latin serta angkanya
XVI. Aksara Arab dalah angkanipun
XVI. Aksara Arab serta angkanya
XVII. Ăngka 2
XVII. Angka 2
Sumber: Pusaka Jawi, Java Instituut, Mei 1926, hlm. 65-70.
1 | Keterangan tentang kongres ini beserta keputusan-keputusannya mengenai penulisan aksara Jawa dapat ditemukan di Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi, Putra Nitipraja, 1923-4. MS. Sasana Pustaka 173 Ca. (kembali) |
2 | Mas Sastrawirya, salah satu perwakilan komisi kongres dari Persatuan Guru Bantu (PGB), menyatakan, prakarsa untuk menggelar kongres standardisasi penulisan aksara Jawa itu semula digagas oleh Mardibasa. Didirikan di Surakarta pada awal abad XX oleh sekelompok ilmuwan, perkumpulan itu bertujuan untuk memajukan kajian bahasa Jawa melalui analisis dari etimologinya. Lihat: 'Basa tuwin Kasusastran Jawi', Sastrawirya, terbit perdana dalam Pusaka Jawi, Java Instituut, Juni 1925, hlm. 134. Diterbitkan ulang dalam Sêrat Gancaran Warni-warni ing Jaman Punika, R. L. Mellema. J. B. Wolters, Betawi: 1933, hlm. 1-22. (kembali) |
3 | Setahun setelah Radya Pustaka direlokasi ke Sriwedari (1913), Wuryaningrat terpilih sebagai pangarsanya hingga 1927. Perkumpulan Narpa Wandawa didirikan pada 1914, tempat Wuryaningrat menjadi presidennya hingga 1927. Pada kurun-kurun itu juga, Wuryaningrat pun menjadi anggota Panitia Pengembangan Budaya Jawa (Comité voor Javaansche Cultuurontwikkeling, 1918). (kembali) |
4 | Jumlah kehadiran peserta di (vergadering) Desember 1922 di Sriwedari - termasuk 9 perwakilan dari komisi (semestinya 10 perwakilan, tetapi Normaalschool tidak ikut rapat ke-dua ini) dan 7 perwakilan dari perkumpulan - kurang-lebih 180 tamu. Lihat: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi, op. cit., hlm. 119-20. (kembali) |
5 | Komisi yang dibentuk untuk pertemuan 29 Oktober dan 31 Desember 1922 itu mencakup 10 perwakilan (Komisi 10 Golongan). Anggota masing-masing adalah (1) Kasunanan: Radèn Ngabèi Nitipraja dan Mas Ngabèi Èsmutani; (2) Kasultanan: Radèn Tumênggung Jayadipura, Mas Wadana Dwijasewaya, dan Radèn Panèwu Jiwadipraja; (3) Mangkunagaran: Radèn Ngabèi Citrasêntana dan Mas Wăngsadiarja; (4) Pakualaman: Radèn Panji Jayèngpranata dan Radèn Mas Ngabèi Sasrasudarsa; (5) Paheman Radya Pustaka: Radèn Ngabèi Suradipura, Mas Ngabèi Prajapustaka, dan Mas Ngabèi Prawiratmaja; (6) Kweekschool: Mas Suwardi, pada pertemuan 31 Desember 1922, wakilnya diganti oleh Mas Jaya Sugito dan Radèn Brata Harjiya; (7) Normaalschool: Mas Ngabèi Arjasudira dan Radèn Ngabèi Brataharjita, pada pertemuan 31 Desember 1922 tidak ada wakil; (8) Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB): Mas Ngabèi Yasawidagda dan Mas Andaga Wedyakaryasa; (9) Persatuan Guru Bantu (PGB): Radèn Sutarman, Mas Sastrawirya, dan Mas Tăndhadisastra; (10) Balai Pustaka: tidak mengirim wakil di pertemuan 29 Oktober 1922, tapi menyampaikan masukan secara tertulis, adapun pada pertemuan 31 Desember 1922, Radèn Kamil hadir sebagai wakil. Lihat: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi, op. cit., hlm. 25-26, 118-120). (kembali) |
6 | Sumber foto: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi, op. cit., hlm. 1. (kembali) |
7 | "Pancènipun sawontên-wontênipun lajêng kêdah dipun limrahakên, dene sampurnanipun kalihan dipun ewahi. Anggêripun sabên taun dipun wontênakên konggrès bab basa tuwin kasusastran Jawi, dangu-dangu inggih badhe sampurna. Putusaning konggrès saya dangu masthi sangsaya sae." Lihat: Sêrat Gancaran Warni-warni ing Jaman Punika, op. cit., hlm. 3. Mas Sastrawirya adalah pakar kondang bahasa Jawa. Ia penerima hadiah pertama dalam sayembara tata-bahasa Jawa yang digelar Pusaka Jawi. (kembali) |
8 | 'Karampungan Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra Jawi, miturut Putusan Parêpatan Kumisi Kasusastran marêngi kaping 29 Oktobêr 1922 sarta 31 Dhesèmbêr 1922', Pusaka Jawi, Java Instituut, Mei 1926, hlm. 65-70. (kembali) |
9 | Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka, mitoeroet Poetoesan Parepatan Koemisi Kasoesastran ing Sriwedari (Soerakarta). Landsdrukkerij - Weltevreden: 1926. Lihat juga foto aslinya: Wawaton Panyêratipun Têmbung Jawi, Kumisi Kasusastran, 1926, #366. (kembali) |
10 | Bandingkan versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka, op. cit., hlm. 3: "Makatên ugi: ra/j [raharja], raj_ [rahajêng], lan sapanunggilanipun." (kembali) |
11 | Bandingkan versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka, op. cit., hlm. 4: "Namung manawi wontên prêlunipun, upami kadamêl njangkêpakên guru wicalaning sêkar, sawêg kenging kasêrat: ...". (kembali) |
12 | Font untuk aksara pasangan: dw tidak tersedia. (kembali) |
13 | Font untuk aksara pasangan: dw tidak tersedia. (kembali) |
14 | Di versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka, op. cit., hlm. 12, terdapat contoh tambahan nomor 3. (kembali) |