/sastra/katalog/judul/judul.inx.php
Babad Sultanan, British Library (Add MS 12288), 1809–16, #1017 | ||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Katalog # | : | 1017 | ||||||||||||||||||
Jumlah kata | : | 104.730 | ||||||||||||||||||
Koleksi (digital) :
| ||||||||||||||||||||
Ikhtisar : Adalah Pangeran Mangkubumi, beliau raja pertama Keraton Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I (1749–92). Naskah ini mengisahkan perjuangannya selama periode yang sohor disebut "Perang Suksesi III Jawa" (1746–57). Teks ini ditemukan sebelas tanggal (sangkala); beberapa di antaranya tidak jelas atau salah; periodenya merentang antara 1750 hingga 1753–4. Periode permusuhan berkelanjutan ini surut pada tahun-tahun pasca-Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755.Kisah dimulai pada awal 1750, yakni jelang-jelang wangsa Mataram memasuki masa terbelah jadi dua: Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Di Yogyakarta, Mangkubumi memulai pemerintahannya sebagai raja pemberontak bersama senopati sekaligus menantunya, Raden Mas Said (kelak menjadi Adipati Mangkunegara I, 1757–95). Di Surakarta, Pakubuwana III (1749–88) memerintah sebagai raja yang didukung oleh Belanda beserta kekuatan militer dan Kumpeni Islam-nya (mencakup prajurit pribumi dari berbagai agama). Kronologi kisah merinci permusuhan selama periode tersebut. Kendati ditulis dalam metrum macapat, tetapi struktur, bahasa, dan isinya lebih mirip seperti jurnal atau laporan singkat tentang sejarah; suatu pengisahan hampir semua peristiwa politik utama yang diketahui pada periode bersangkutan. Hal ini terasa berbeda dengan gaya sastra yang khas dari genre babad era akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Sedemikian rupa sehingga, analisis lebih mendalam terhadap teks ini seyogianya perlu menilai kelengkapan dalam hal pelaporan peristiwa pada masanya serta pemahaman akan variasi dan perspektif yang melatarbelakangi. Berlatar keraton Mangkubumi di Kabanaran, Babad Sultanan menyajikan deskripsi singkat tapi komprehensif tentang angkat senjata oleh Mangkubumi dan Mangkunegara melawan VOC di pedalaman Jawa pada akhir 1750 dan 1751. Bahkan, pertempuran pada sepanjang 1752 di Pesisir Utara Jawa yang dipimpin Mangkubumi dan pemberontakan intens Mangkunegara di pedalaman melawan Pakubuwana III pun dibabarkan secara paripurna. Jaya di Pesisir Utara, Mangkubumi lalu kembali ke pedalaman, meninggalkan Kabanaran dan mendirikan keraton di Pabrêkan. Dengan ditemani Mangkunegara, Mangkubumi memimpin propaganda di Jawa Timur yang berkulminasi pada penaklukan Panaraga, September 1752 (Ricklefs, 2018, hlm. 122). Jelang 1752 berakhir, aliansi Mangkubumi-Mangkunegara beranjak merenggang. Beda strategi berjuang di antara keduanya menjadi faktor renggangnya. Ditambah lagi, kecurigaan Mangkubumi akan ambisi Mangkunegara menjadi raja tunggal Jawa kian memperburuk relasi mereka. Hingga, pada 1753, meletuplah perang terbuka. Babad Sultanan secara ekstensif membahas dinamika perseteruan keduanya pada sepanjang periode permusuhan terbuka tersebut dan tak lupa dibubuhi catatan rinci tentang intrik, konflik, manuver politik, dll. Secara mendadak, bagian pamungkas dari Babad Sultanan melaporkan proses negosiasi antara Mangkubumi dan VOC pada 1754. Negosiasi ini dimediasi oleh seorang tokoh enigmatik dari Turki yang diterima oleh orang Jawa sebagai utusan Sultan Rum; namanya: Tuwan Sarip Bêsar (lebih lanjut lihat Ricklefs, 2018, hlm. 144–51, 360–7). Catatan yang relatif rinci tentang peran Sarip menjadi langkah awal menuju Perjanjian Giyanti, 1755. Kemendadakan itu juga menyiratkan bahwa, tampaknya, ada sebagian teks yang raib dan mungkin berlanjut hingga atau melampaui Giyanti. Manuskrip ini terdiri dari 165 pupuh, 3.712 bait, 27.518 gatra, dan 97.999 kata (berdasarkan bait), yang ditulis dalam metrum macapat. Memang tidak bertanggal, namun amatan pada kertas yang digunakan memberikan analisis pertanggalan bahwa manuskrip ini digubah pada kurun 1809–16. Biarpun berupa salinan, naskah ini tidak tampak laksana kompilasi dari berbagai sumber sebagaimana lazimnya babad lain pada era sezaman. Manuskrip ini lebih mirip sebagai jurnal atau sekurang-kurangnya pandangan pribadi tentang peristiwa sejarah yang terjadi. Kosakata, ejaan, dan gaya penulisan menjadi nilai tambah keunikannya. Bertolak pada alasan-alasan ini dan tentu juga yang lainnya, maka, patutlah kiranya Babad Sultanan diteliti lebih komprehensif. |
Deskripsi
Judul | ||
Dalam | : | Babad Sultanan, utawi Mangkunêgaran |
Tipe | : | Naskah |
Bentuk | : | Tembang |
Bahasa | : | Jawa |
Aksara | : | Jawa |
Jilid | ||
Halaman | : | 330 (ganda) |
Gambar | : | 1 iluminasi (ganda): pembingkai ganda beriluminasi dengan warna dan emas pada ff. 2v–3r. |
Sumber | ||
Katalog | : | British Library Add MS 12288 Digital |
Ukuran | : | 225 x 185 mm., 15 baris per halaman. |
Kertas | : | Inggris, watermark: Budgen & Wilmott 1808, B&W 1809 (ff. 4–440); 1814 (ff. 2–3). Lihat deskripsi di: British Library. |
Penomoran | : | 663 faksimili digital: ff. 1–330 + ff. i–ii. |
Digitalisasi | ||
Tanggal | : | 2024-07-17 |
Sumber dari | : | British Library Add MS 12288 Digital |
Pemindaian | : | British Library |
Pengalihaksaraan | : | Yayasan Sastra Lestari |
Pengetikan | : | Yayasan Sastra Lestari |