/sastra/katalog/judul/judul.inx.php
Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912
Katalog #:912
Jumlah kata:61.977
Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912: Citra 1 dari 8
Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912: Citra 2 dari 8
Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912: Citra 3 dari 8
Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912: Citra 4 dari 8
Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912: Citra 5 dari 8
Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912: Citra 6 dari 8
Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912: Citra 7 dari 8
Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912: Citra 8 dari 8
Koleksi (digital) :
1. Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912 (Pupuh 01–15). Kategori: Kisah, Cerita dan Kronikal > Cerita. Tanggal diunggah: 14-Sep-2023. Jumlah kata: 12.100. Berapa kali dibuka: 1.657.
2. Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912 (Pupuh 16–27). Kategori: Kisah, Cerita dan Kronikal > Cerita. Tanggal diunggah: 14-Sep-2023. Jumlah kata: 12.269. Berapa kali dibuka: 695.
3. Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912 (Pupuh 28–40). Kategori: Kisah, Cerita dan Kronikal > Cerita. Tanggal diunggah: 14-Sep-2023. Jumlah kata: 12.178. Berapa kali dibuka: 709.
4. Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912 (Pupuh 41–51). Kategori: Kisah, Cerita dan Kronikal > Cerita. Tanggal diunggah: 14-Sep-2023. Jumlah kata: 12.996. Berapa kali dibuka: 731.
5. Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912 (Pupuh 52–67). Kategori: Kisah, Cerita dan Kronikal > Cerita. Tanggal diunggah: 14-Sep-2023. Jumlah kata: 12.434. Berapa kali dibuka: 719.
» Panji Jayakusuma, Staatsbibliothek zu Berlin (Ms. or. quart. 2112), abad ke-19, #912. Pangkalan-data > Tembang macapat.
Ikhtisar :
Kisah Panji Jayakusuma merupakan salah satu episode dari cerita klasik yang berkembang pada abad ke-11 sampai ke-14 atau penggal akhir masa Hindu-Buddha di Jawa. Berbeda dengan epos klasik lain pada masa tersebut maupun masa sebelumnya, Panji hadir dari dan dalam konteks budaya lokal. Artinya, ia relatif tak terlumuri budaya India (Zoetmulder 1983, hlm. 534). Jangkauan sebar karya Jawa itu mencakup seantero Nusantara, bahkan hingga ke banyak penjuru Asia Tenggara.

Bukan hanya dalam bentuk karya sastra (kidung) dan cerita lisan, Panji pun tersaji dalam bentuk relief serta beragam pertunjukan, seperti rakêt, gambuh, hingga topeng (Vickers 2020, hlm. 268). Cerita Panji Jayakusuma ini ada indikasi disalin dari bacaan lisan, baik berdasarkan ingatan maupun dari naskah tertulis yang dibaca. Terkadang, ejaan kata dalam naskah ini bertaat pada pengucapan penulis atau pembaca, bukan pada kaidah ejaan bahasa Jawa yang lumrah. Contoh: wêtcana [wêcana], rapbi [rabi], wiyatdi [wiyadi], dsb.

Disalin dalam metrum macapat, penggambaran adegan demi adegan Panji Jayakusuma edisi ini diperkaya dengan ilustrasi-ilustrasi nan memesona. Jumlah ilustrasi, jika kalkulasinya adalah per halaman, mencapai 170 gambar berwarna—beberapa ada yang merentang dua halaman. Naskah ini disangga oleh 67 pupuh, 2.186 bait, 16.323 gatra, dan mencakup 56.425 kata (berdasarkan bait). Penggunaan aksara, kosakata, dan konvensi macapatnya menunjukkan bahwa salinan edisi ini bersumber dari wilayah di luar kerajaan (vorstenlanden) Jawa. Berikut adalah ikhtisar kisah Panji Jayakusuma yang terbabar dalam naskah ini.

Tersebutlah Tumenggung Jayakusuma dan Demang Astrawijaya, dua satria muda andalan sebuah kerajaan bernama Bauwarna. Keduanya sudah dianggap sebagai putra sendiri oleh Sang Raja Bauwarna, Prabu Ngurawan, tersebab kesungguhan pengabdiannya.

Suatu tempo, Prabu Ngurawan berniat menaklukkan Kerajaan Bali. Sang Prabu mengutus keduanya untuk menuntaskan misi itu. Sang Prabu berkaul, andai berhasil, ia akan menganugerahkan kekuasaan serta menikahkannya dengan salah seorang putrinya, Retna Kumuda.

Setelah menghadap Prabu Ngurawan, teringatlah Panji Jayakusuma atau Raden Tumenggung Kelana Jayakusuma pada Candrakirana: ke mana lagi ia harus mencari dan menemukan cinta sejatinya itu. Adapun Demang Astrawijaya jatuh hati pada Retna Kumuda. Astrawijaya terbukti bersalah karena nekat memasuki kawasan kedaton putri Ngurawan tanpa izin. Prabu Ngurawan pun murka; diam-diam ia memerintahkan para mantri punggawanya untuk melenyapkan Astrawijaya.

Berangkatlah Tumenggung Jayakusuma dan Demang Astrawijaya ke Bali. Di tengah perjalanan, Demang Astrawijaya diserang para mantri punggawa Kerajaan Bauwarna, tapi berhasil lolos. Tak hilang akal, Prabu Ngurawan mengutus Undakan Sastramiruda untuk giliran menghadapi Demang Astrawijaya. Astrawijaya pun dapat dikalahkan. Sebagai ganjarannya, Sastramiruda diangkat menjadi demang menggantikan Astrawijaya. Dalam keadaan terluka, Astrawijaya lari menyelamatkan diri ke Gunung Wilis dan bertemu Wasi Curiganata yang merawat lukanya hingga pulih.

Rombongan Jayakusuma beserta istrinya, Dewi Surengrana (Putri Cemara), sampai sudah di Bali dan bermukim sekian lama di Banonbang. Jayakusuma heran, apa sebab Raja Bali, Prabu Jayalengkara, dan para prajuritnya tiada kunjung datang menghadapinya? Jayakusuma menyuruh utusan untuk menyampaikan surat tantangan kepada Prabu Jayalengkara. Prabu Jayalengkara memberi jawaban dan memerintahkan punggawa mantri-prajurit untuk bersiap menghadapi musuh tatkala sudah sampai di Sapigumarang.

Tentang Astrawijaya, sepulihnya dari luka, ia langsung menyusul Jayakusuma ke Bali dan bersua di Sapigumarang. Kepada Jayakusuma, Astrawijaya bercerita, menurut petunjuk Wasi Curiganata, jika ingin menemukan Raden Putra (Raden Inu Kertapati) dan Dewi Sekartaji (Candrakirana), ia harus menyusul dan mengabdi kepada Tumenggung Jayakusuma yang sedang menyerbu Bali. Jayakusuma tidak pangling pada Astrawijaya yang sebenarnya adalah Raden Wukirsari si adik Candrakirana alias putra Raja Kediri. Sebaliknya, Astrawijaya alias Raden Wukirsari tak mengenali bahwa Jayakusuma itu tiada lain dan tiada bukan adalah Raden Putra alias Raden Inu Kertapati sendiri.

Suatu tempo, saat Jayakusuma dan Astrawijaya tengah berbincang, tetiba datanglah Demang Undakan Sastramiruda, sosok yang pernah mengalahkan Astrawijaya atas instruksi Prabu Ngurawan itu. Dengan tersedu-sedan, Sastramiruda menyampaikan surat dari Prabu Ngurawan untuk Tumenggung Jayakusuma.

Jayakusuma membacanya. Isi surat tersebut adalah, hadiah putri Ngurawan untuk Tumenggung Jayakusuma telah dicederai oleh Sastramiruda. Prabu Ngurawan sendiri yang memergokinya. Prabu Ngurawan lantas mengusir Sastramiruda untuk pergi menyusul Jayakusuma ke Bali, serta menyerahkan bentuk hukuman apa saja yang layak baginya kepada Jayakusuma. Bahkan, andai dibunuh pun.

Jayakusuma sontak naik pitam. Namun, pitam Jayakusuma lekas turun. Buktinya, lebih dari dimaafkan, Sastramiruda malah dipercayainya untuk membantu misi penaklukan Bali.

Bauwarna dan Bali pun jadi bertempur. Di tengah sengit-sengitnya pertempuran, tanpa dinyana, Tumenggung Jayakusuma berjumpa dengan adiknya, Ragilkuning (Dewi Ekawarna). Ragilkuning menyamar jadi laki-laki dan menjadi salah satu Patih Kerajaan Bali bernama Dipati Jayaasmara. Dipati Jayaasmara sendiri dikabarkan tewas di medan laga.

Setelah sekian lama, bala-tentara Bali terdesak. Ki Menak Cao bersejingkat melapor kepada Prabu Jayalengkara. Prabu Jayalengkara pun berniat maju perang dan memimpin sendiri pasukannya pada keesokan hari.

Kerajaan Bali takluk. Dalam ketaklukkan itu, terkuaklah jati diri Prabu Jayalengkara, bahwa sebetulnya dia adalah putri Kediri, yakni Dewi Sekartaji, yang tengah menyamar dalam rangka mencari kekasihnya, Raden Panji Inu Kertapati. Akhirnya Jayakusuma dan Sekartaji bertemu di Sapigumarang, menikah. Sedangkan Dewi Ragilkuning menikah dengan Raden Wukirsari.

Terbetik kabar bahwa Kerajaan Kediri (Mamenang) diserang dan lalu ditundukkan oleh Ratu Nusyatembini (Raja Romaresi). Prabu Ngurawan Raja Bauwarna beserta wadyabalanya datang membantu, tapi toh bisa ditumpas Ratu Nusyatembini.

Terdesak, Raja Mamenang dan Raja Bauwarna mundur, bergerak ke Gunung Wilis, meminta bantuan kepada Wasi Curiganata. Wasi Curiganata angkat tangan, tidak sanggup melawan Raja Nusyatembini. Namun, ia memberitahu, yang sanggup mengalahkan Ratu Nusyatembini hanyalah Raden Tumenggung Kelana Jayakusuma. Raja Ngurawan mengutus Raden Sinjanglaga, salah satu punggawanya, untuk gegas berangkat memanggil Tumenggung Jayakusuma yang telah sekian lama berdiam di Banonbang, Bali, itu.

Di Kediri, Ratu Nusyatembini tengah bercengkrama dengan para punggawa mantri yang semuanya perempuan dan ketiga belas anaknya yang semuanya juga perempuan. Ratu Nusyatembini mengutarakan maksud akan menangkap Prabu Daha dan Prabu Ngurawan, sembari kemudian menginvasi Kerajaan Jenggala dan Singasari. Prabu Singasari sebenarnya berniat membantu Prabu Daha, namun apalah daya, Singasari sendiri sedang gawat-darurat karena diserang musuh dari Kerajaan Tawanggantungan. Bahkan, Prabu Singasari dan wadyabalanya kalah dan mundur ke gunung Darawati. Kerajaan Singasari berhasil dikuasai Raja Tawanggantungan.

Di Banonbang, Kelana Jayakusuma tengah menunggui Ki Menak Prasanta, salah satu punakawan penasehat kesayangannya, yang sedang dirundung sakit. Tetiba datang Raden Sinjanglaga. Utusan Prabu Ngurawan itu memberitahu kalau Kerajaan Kediri (Mamenang) diserang musuh dari Nusyatembini sekaligus meminta bantuan kepada Jayakusuma. Belum tamat berbincang, datang lagi seorang utusan. Kali ini utusan Raja Singasari, namanya Raden Banyaksasi. Tujuannya, apalagi kalau bukan meminta bantuan juga kepada Jayakusuma karena Kerajaan Singasari telah dikuasai Raja Tawanggantungan.

Kepala Jayakusuma dibikin pusing, mana dulu yang harus dibantu, Kediri atau Singasari. Atas usulan Dewi Surengrana, Jayakusuma memutuskan untuk mendahulukan membantu yang datang belakangan, Singasari.

Berangkatlah Tumenggung Jayakusuma ditemani Dewi Sekartaji beserta para prajurit terpilihnya menuju Gunung Darawati tempat Raja Singasari mengungsi. Dari sana, Jayakusuma menyerang Tawanggantungan. Jayakusuma terdesak, dan mundur sementara.

Jayakusuma bersemedi memohon petunjuk Dewata. Turunlah Batara Narada memberi petunjuk, bahwa jika ingin menaklukkan Raja Tawanggantungan, maka yang maju haruslah Ki Prasanta, bukan Jayakusuma. Jayakusuma menjawab, "Ki Prasanta sedang sakit". Ujar Batara Narada, "Tidak mengapa, naikkan saja ia ke kereta." Maka, jadilah Prasanta berangkat ke medan laga untuk menghadapi langsung Raja Tawanggantungan yang tiada lain adalah istrinya sendiri, Dewi Kanestren.

Pada saat hampir bersamaan, rombongan Tumenggung Jayakusuma bergerak ke Gunung Wilis, tempat Prabu Ngurawan dan Prabu Daha mengungsi. Dewi Sekartaji bersua ayahnya, Prabu Daha. Jayakusuma bersua Wasi Curiganata yang sebenarnya adalah Raden Prabangsa, kakaknya sendiri. Begitu pun Raden Prabangsa, ia sama sekali tidak pangling bahwa Tumenggung Jayakusuma adalah Ki Marabangun yang tiada lain adalah Raden Inu Kertapati. Demi mengetahui bahwa Panji Inu Kertapati ternyata masih hidup, bersukacitalah semua. Jayakusuma terperanjat campur lega lantaran jati diri masing-masing jadi terkuak sudah.

Kisah berakhir pada babakan cerita perjalanan rombongan Kelana Jayakusuma, Prabu Ngurawan, dan Prabu Daha menuju Kediri. Tujuan rombongan itu apa lagi kalau bukan untuk menumpas Ratu Nusyatembini sekaligus merebut kembali Kerajaan Kediri.

Deskripsi

Judul
Tipe:Naskah
Bentuk:Tembang
Bahasa:Jawa
Aksara:Jawa
Jilid
Halaman:284
Sumber
Katalog:Staatsbibliothek zu Berlin Ms. or. quart. 2112 Digital
Penomoran:264 (faksimile digital)
Digitalisasi
Tanggal:2023-03-06
Sumber dari:Staatsbibliothek zu Berlin Ms. or. quart. 2112 Digital
Pemindaian:Staatsbibliothek zu Berlin
Pengalih­aksaraan:Yayasan Sastra Lestari
Pengetikan:Yayasan Sastra Lestari