Panji Marabangun, British Library (Or 15026), 1861, #1040 (Ringkasan)
1. | Panji Marabangun, British Library (Or 15026), 1861, #1040 (Pupuh 01-17). Kategori: Kisah, Cerita dan Kronikal > Cerita. |
2. | Panji Marabangun, British Library (Or 15026), 1861, #1040 (Pupuh 18-36). Kategori: Kisah, Cerita dan Kronikal > Cerita. |
3. | Panji Marabangun, British Library (Or 15026), 1861, #1040 (Pupuh 37-54). Kategori: Kisah, Cerita dan Kronikal > Cerita. |
» | Panji Marabangun, British Library (Or 15026), 1861, #1040 (Ringkasan). Kategori: Kisah, Cerita dan Kronikal > Cerita. |
Pencarian Teks
Lingkup pencarian: teks dan catatan-kakinya. Teks pencarian: 2-24 karakter. Filter pencarian: huruf besar/kecil, diakritik serta pungtuasi diabaikan; karakter [?] dapat digunakan sebagai pengganti zero atau satu huruf sembarang; simbol wildcard [*] dapat digunakan sebagai pengganti zero atau sejumlah karakter termasuk spasi; mengakomodasi variasi ejaan, antara lain [dj : j, tj : c, j : y, oe : u, d : dh, t : th].
Panji Marabangun (Ringkasan)
British Library (Or 15026), 1861
Tersebutlah sebuah kerajaan bernama Jenggala. Rajanya, Prabu Dewakusuma. Hati Sang Prabu dirundung gundah-gulana lantaran putra utamanya, Raden Panji Marabangun alias Inu Kertapati alias Raden Kasatriyan, sedang terpukul akibat istrinya, Dewi Candrakirana alias Dewi Sekartaji, hilang. Sudah bersiap-siap berangkat mencari, eh, turun petunjuk Dewa: "Urungkan niatmu pergi, sebab Candrakirana pasti akan pulang sendiri."
Di sebuah desa bernama Jagalan, salah satu warganya, seorang gadis buruk rupa, jatuh cinta kepada Panji. Retna Cindaga alias Dewi Wadalwardi namanya. Karena kasmarannya sudah melampaui batas takaran, Cindaga diusir ayahnya. Sakit oleh cinta, hidupnya jadi terlunta-lunta. Hingga, turunlah Hyang Pulanggana menganugerahkan ilmu pengasihan.
Cindaga bertemu dengan, dan lalu diangkat anak oleh, Jagal Karungbang. Cindaga berkoar-koar sebagai Dewi Sekartaji, menantu Raja Jenggala. Buruk rupanya dibilang tersebab dikutuk dewa. Diliputi sangsi, Jagal Karungbang mengingatkan anak angkatnya itu agar tak usahlah mengaku-aku sebagai menantu Raja Jenggala, sebab sanksinya kelak berat nian.
Suatu kali Cindaga mendapat selentingan kabar: Dewi Sekartaji raib. Sontak, kepada Jagal Karungbang, Cindaga pamit pergi ke Jenggala. Di sepanjang jalan, Cindaga menangis sambil menutupi wajah dan menyebut-nyebut nama putra Jenggala, Raden Panji Marabangun.
Di paseban Keraton Jenggala, Prabu Dewakusuma sedang menerima para punggawa dan putranya. Di luar, ada Retna Cindaga. Ia berteriak-teriak ingin menghadap Sang Prabu. Disangka orang edan, para mantri penjaga menghalang-halanginya. Cindaga murka: "Aku putri Daha, Dewi Sekartaji. Lekas lepaskan aku." Semua terlongong. Bagaimana mungkin seorang berwajah sedemikian buruk mengaku-aku sebagai Dewi Sekartaji?
Mendengar ribut-ribut, Prabu Dewakusuma menyuruh patihnya, Kudanawarsa, keluar memeriksa. Begitu sang patih keluar, Cindaga mempraktikkan itu ilmu pengasihan. Sontak hati Kudanawarsa terbit belas-kasihan kepada Cindaga. Patih Kudanawarsa membawa Cindaga masuk menghadap Prabu Dewakusuma seraya melaporkan bahwa inilah sang Dewi Sekartaji yang mana wajahnya beralih rupa akibat kutukan Sang Hyang Durga.
Begitu berada di paseban, ilmu pengasihan itu kembali dimainkan oleh Cindaga. Walhasil, para hadirin di dalam keraton, tak terkecuali Prabu Dewakusuma, jatuh iba. Sang Prabu menerima Cindaga dan mengakui bahwa dia adalah Dewi Sekartaji.
Sang Prabu meminta putrinya, Dewi Ragillkuning alias Dewi Onengan, untuk memanggil kakaknya, Raden Panji, sekaligus diminta memberitahu bahwa istrinya telah kembali. Sang Prabu berniat menggelar upacara pernikahan-ulang antara Raden Panji dan Dewi Sekartaji tiron (jadi-jadian) itu. Keduanya akan diarak ke alun-alun dengan harapan wajah Sekartaji yang buruk rupa akibat kutukan Hyang Durga itu berubah jadi molek seperti sedia kala.
Panji setuju. Dua punakawannya, yakni Ki Persanta dan Ki Jurudoh, dimintanya mencari pendamping untuk pernikahan-ulangnya.
Ayahanda Candrakirana, yang adalah Raja Daha atau Kediri, tentu bersedih saat mendengar bahwa putrinya yang telah kembali itu kini jadi buruk rupa. Beliau menyuruh putranya, Raden Wukirsari, pergi ke Jenggala untuk melihat dan memastikan kondisi sang kakak. Seperti bisa diduga, tatkala bertemu Candrakirana tiron, Wukirsari terkejut dan menangis tersebab ilmu pengasihan tersebut.
Lantas, di mana Dewi Sekartaji yang asli? Telisik punya telisik, ternyata ia sedang bersemadi di pertapaan Gunung Wilis. Demi mendengar suaminya akan menikahi Cindaga, tak urung, Sekartaji pun sedih nian. Bahkan terbersit untuk mati saja. Untunglah Batara Narada turun dari kahyangan memberi petunjuk dan lalu mengubah wujud Sekartaji jadi lelaki gagah-tampan. Oleh Batara Narada, ia diberi nama Wasi Jayengresmi alias Kuda Narawangsa.
Kembali ke punakawan Raden Panji, Persanta dan Jurudoh. Keduanya, saat tengah berjalan menuju ke negeri Jenggala, tanpa dinyana bersua Kuda Narawangsa yang dengan lekas digamit untuk menjadi pendamping pengantin bagi Raden Panji Inu Kertapati. Kuda Narawangsa menyanggupi. Singkat kata, pernikahan Raden Panji dan Dewi Sekartaji tiron pun terjadilah.
Suatu kali, Kerajaan Jenggala dikepung sepasukan musuh yang dipimpin oleh Sang Kelana Sowandana. Raja Jenggala menitahkan Patih Kudanawarsa untuk menumpasnya. Patih Kudanawarsa dan pasukannya terdesak. Dengan sigap, Raden Panji Marabangun, Kuda Narawangsa, beserta semua saudaranya, bahu-membahu membantu. Kelana Sowandana dan pasukannya keok, lari ke hutan. Sedangkan adiknya, Kelana Wanengbaya, tewas.
Untuk merayakan kemenangan, Raden Panji menggelar pentas wayang. Putra Raja Daha, Raden Wukirsari, didapuk sebagai dalang yang kemudian dilanjut oleh Kuda Narawangsa. Lakon yang dibawakan Narawangsa adalah sindiran pertemuan Panji dan Kirana. Sayang sekali, karena malam sudah larut, kisahnya tidak rampung.
Saat semua lelap tertidur, Kuda Narawangsa diam-diam bersijingkat meninggalkan keraton. Sesampai di bawah pohon pandansurat, berubahlah dirinya ke wujud asli, yakni Dewi Sekartaji. Terlanjur malu untuk pulang ke Daha maupun balik ke Jenggala, Dewi Sekartaji lalu memutuskan untuk menulis selarik pesan di daun pandansurat yang ia gurat dengan kukunya. Isinya kurang-lebih adalah, "Wasi Jayengresmi atau Undakan Narawangsa pada hakikatnya adalah Dewi Sekartaji alias Citralangenan yang asli. Jika Raden Kasatriyan masih mencintai Citralangenan, susullah dia."
Dewi Onengan, ketika terbangun, tidak lagi mendapati Kuda Narawangsa di sampingnya. Kaget sekali., melaporlah Onengan ke kakaknya, Raden Marabangun. Dengan dibantu para saudara dan punakawannya, Marabangun mencari-cari keberadaan Kuda Narawangsa. Sesampainya di bawah pohon pandansurat, ditemukanlah pakaian Kuda Narawangsa yang di atasnya teronggok secarik pesan. Usai membacanya, Marabangun jatuh pingsan. Begitu sadar, Raden Marabangun langsung bangun mencari Dewi Citralangenan. Ketiga saudaranya, yakni Permadi, Punta, dan Kartala, diinstruksikannya untuk membekuk Candrakirana tiron. Rupanya, berita ini sampai ke telinga Prabu Jenggala. Tak mau kalah, Sang Prabu Jenggala menginstruksikan Patih Kudanawarsa dan pasukannya turut mencari.
Sementara itu, Prabu Kelana Sowandana dan adiknya, Kelana Tunjungseta, yang melarikan diri tadi, sedang beristirahat dihadap para mantri punggawa. Sowandana melihat sebersit sinar. Tunjungseta disuruhnya mencari di mana gerangan sumber sinar tersebut berletak. Ternyata sinar itu terpancar dari Dewi Citralangenan yang tengah bertapa di tengah hutan. Dibawalah Citralangenan kepada Sowandana. Sowandana girang bukan kepalang karena dipertemukan dengan perempuan ayu-jelita yang ia beri nama Rara Temon. Sowandana bernafsu untuk memperistri, tapi Rara Temon minta waktu sampai ia rampung bertapa.
Kembali ke Raden Panji, siang-malam ia berjalan mencari keberadaan Citralangenan sampai lupa makan dan minum. Di tengah hutan, Panji bertemu banteng liar. Banteng berhasil ia bunuh dan berubah wujud menjadi Raden Malangsumirang. Manusia Malangsumirang lalu mengabdi kepada Raden Panji dan ikut mencari Citralangenan. Malangsumirang memberi saran agar Raden Panji meminta bantuan ayahnya, Wiku/Rsi Ciptarasa.
Menghadaplah Raden Panji ke Rsi Ciptarasa. Belum juga niat terlisankan, Sang Rsi sudah tahu maksud kedatangan Raden Panji. Kata Rsi Ciptarasa, "Jika betul ingin menemukan Citralangenan, engkau harus mengabdi kepada Prabu Ngurawan."
Kala itu, negeri Ngurawan sedang dikepung musuh dari tanah seberang, yaitu Prabu Kelana Sowandana beserta banyak sekali wadyabala. Raja Ngurawan, yaitu Maharaja Lembu Angarang, ketar-ketir bukan main. Rsi Ciptarasa menasehati Panji dan lima saudaranya (Carangwaspa, Wukirkusuma, Permadi, Punta, dan Kartala) agar menyamar saja. Oleh Sang Rsi, Panji bersaudara itu diberinya nama samaran; berturut-turut: Panji Angrungdayapati, Undakan Astradana, Undakan Astracapa, Maesa Giyanti, Kebo Penggagar, dan Macan Gugur. Adapun dua punakawannya, Jurudoh dan Persanta, masing-masing diberi nama samaran Mega Pangraras dan Mendung Pangriris. Berangkatlah mereka semua ke negeri Ngurawan.
Di Ngurawan, Prabu Lembu Angarang tengah berdiskusi dengan patihnya, Jayakacemba, soal strategi menghadapi kepungan Sowandana. Patih Jayakacemba membisikkan informasi bahwa, kebetulan sedang ada ksatria, Panji Angrungdayapati namanya, baru saja tiba di Ngurawan diiringi lima saudara dan dua punakawan. Tujuan mereka berdelapan itu adalah untuk mengabdi kepada Prabu Lembu Angarang. Maka, alangkah sayangnya jika tenaga mereka tidak dikaryakan. Sang Prabu pun mengangguk setuju.
Angrungdayapati beserta kelima saudara dan dua punakawannya pun diterima mengabdi. Setelah dianugerahi Prabu Ngurawan nama baru Panji Panaraga, diinstruksikanlah mereka untuk menghadapi Prabu Kelana Sowandana. Sowandana terdesak. Di tengah-tengah bancuh pertempuran, Panji bertemu dengan sang istri, Citralangenan alias Dewi Sekartarji, dan lalu diboyongnya ke Panaraga.
Panji segera melapor kepada Prabu Ngurawan bahwa pasukannya sukses menumpas Sowandana. Sowandana berhasil dibunuh oleh Undakan Astradana (alias Carangwaspa atau Selakendaga). Saktinya, berkat aji Pancasana, Sowandana bisa hidup kembali setelah tubuhnya diterpa angin, tapi akhirnya tewas untuk selamanya di tangan Panji Panaraga.
Tak butuh waktu lama, terungkaplah jati diri dari Panji Panaraga dan Dewi Citralangenan, yakni Panji Marabangun dan Dewi Candrakirana. Dilematislah hati Prabu Ngurawan, antara suka dan kecewa. Pasalnya, sebelumnya, beliau sudah terbersit untuk menjodohkan Panji dengan putrinya, Retna Kumudaningrat.
Diiringi saudara dan para punakawan, Marabangun-Candrakirana pamit pulang ke Daha. Prabu Daha bersuka-cita saat mendapati putrinya, Candrakirana, diketemukan. Setelah beberapa saat di Daha, sepasang kekasih itu bergerak ke Jenggala untuk bertemu ayahanda Prabu Dewakusuma.
Waktu berjalan, pada suatu tempo, Dewi Candrakirana mengutarakan kepada suaminya bahwa ingin menyambangi negeri Keling. Raden Panji mengizinkan, karena toh bisa sekalian menengok pamannya yang kini jadi Raja Keling. Maka, bersama sejumlah kerabatnya, berangkatlah Panji dan Candrakirana menuju Keling, naik kapal. Di tengah samudera, kapal merkea diterjang angin kencang, dan tenggelam. Atas pertolongan dewa, semua selamat dan terdampar di daratan kendati terpisah-pisah titik lokasi.
Dewi Candrakirana dan Dewi Onengan, adik iparnya, tersuruk di Pulau Bali. Atas petunjuk Batara Narada, jika ingin bertemu suaminya, Candrakirana harus berubah wujud jadi pria dan diberi nama Jayalengkara. Jayalengkara disuruh mendaki Mahameru untuk menemui Raja Bali yang sedang bertapa memohon anak. Setelah bersua Prabu Bali, Jayalengkara diangkat anak hingga menjadi kandidat raja di Bali. Maka, tatkala Prabu Bali wafat, Jayalengkara pun resmi ditabalkan sebagai Raja Bali.
Untuk Dewi Onengan, ia terpental sampai ke tengah rimba. Batara Bayu turun menolongnya dan mengubah wujudnya menjadi lelaki dengan nama Raden Jayaasmara. Jayaasmara dititahkan untuk mengabdi kepada Prabu Jayalengkara di Bali karena, sesuai garis takdir, itulah jalan dia bisa dipertemukan dengan kakaknya, Raden Panji Marabangun. Pergilah Jayaasmara ke Bali untuk mengabdi kepada Prabu Jayalengkara. Jayaasmara dijadikan kepala lurah punakawan dan lalu diangkat menjadi salah satu patih di Bali.
Persanta dan Jurudoh, mereka selamat pula sampai di Bali, meski harus terlunta-lunta dan menyambung hidup dengan berprofesi sebagai tukang sulap. Di tengah perjalanan, keduanya bertemu Prabu Jayalengkara, lalu dijadikan punggawa mantri Bali. Persanta diberi nama Menak Agung, dan Jurudoh diberi nama Menak Cao.
Untuk Panji Marabangun, bersama ketiga saudaranya—Permadi, Punta, Kartala—mereka terlempar jauh hingga ke tengah hutan. Raden Panji bersemadi, hingga turunlah Sang Resi Kanekaputra (Narada) memberi hidayah: "Bila ingin bertemu istrimu, kau harus menyamar dan mengabdi kepada Raja Ngurawan." Diberilah ia nama baru: Raden Jayadiluwih.
Di Jenggala, demi mendengar rombongan kapal Raden Panji karam di lautan, secepatnya Prabu Jenggala mengutus salah seorang putranya, Raden Arya Brajanata alias Raden Wanagiri, untuk mencari tahu nasib Panji. Sayang, Brajanata tidak bisa memenuhi perintah ayahnya karena lebih memilih untuk jadi petapa di Gunung Wilis bergelar Ki Wasi Curiganata. Syukurlah, sang adik, Raden Selakendaga alias Lempungkaras, mengajukan diri dan langsung memohon izin ayahanda untuk mencari kakaknya, Raden Panji.
Di Daha, demi mendengar kabar bahwa putrinya, Dewi Sekartaji, tewas di lautan saat dalam muhibah ke negara Keling bersama suami dan para saudaranya, Prabu Daha terkesiap. Beliau segera mengutus putranya, Raden Wukirsari, untuk mencari seorang Rsi yang bisa menerawang keberadaan Sekartaji, kakaknya.
Secara simultan, Prabu Ngurawan sedang dihadap patih beserta para punggawa, membincang langkah para bupati yang telah berbalik arah mengabdi kepada Prabu Bali. Kepada patihnya, Prabu Ngurawan menyampaikan kiat-kiat untuk menghadapi Prabu Bali. Saat diskusi tengah berjalan, datang Raden Jayadiluwih beserta ketiga saudaranya menghadap Prabu Ngurawan: berniat mengabdi. Setelah pengabdiannya diterima oleh Prabu Ngurawan, Raden Jayadiluwih dianugerahi nama Tumenggung Kelana Jayakusuma.
Raden Wukirsari, sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya tengah diperintah oleh ayahandanya, Prabu Kediri, untuk mencari sang kakak, Dewi Sekartaji, sampailah di negeri Ngurawan. Di sana ia bersua dengan Tumenggung Kelana Jayakusuma, lalu mengabdi kepadanya dan dianugerahi nama Astrawijaya.
Pada saat hampir bersamaan, Raden Lempungkaras juga beroleh petunjuk agar mengabdi kepada Tumenggung Kelana Jayakusuma yang tidak-lain dan tidak-bukan adalah kakak kandungnya sendiri, Raden Panji. Pengabdian Lempungkaras diterima oleh Tumenggung Kelana Jayakusuma seraya dihaturi nama baru: Astramiruda.
Syahdan, Tumenggung Kelana Jayakusuma ada niatan untuk menyerang negeri Cemara dan sekitarnya. Apa mau dikata, belum apa-apa, Cemara dan sekitarnya menyatakan takluk kepada negeri Ngurawan sebelum berperang. Segenap pampasan perang, termasuk para putri Cemara, pun telah diserahkan kepada negeri Ngurawan sebagai tanda takluk. Prabu Ngurawan menyerahkan Putri Cemara, Dewi Surengrana, kepada Tumenggung Kelana Jayakusuma.